Rasa penasaran ingin melihat suasana tempat pelelangan ikan di Pelabuhan Kota Agung membuat saya tidak cukup sekali mengingatkan Mas Elvan agar tidak lupa dengan rencana untuk ke sana. Meski telah di-iyakan pada malam harinya, esok paginya sebelum waktu Subuh saya kembali bertanya, “Jadi ke dermaga, kan mas?” Jawaban ‘iya’ yang diberikan kemudian membuat saya seperti diburu-buru untuk segera bersiap. Ada yang ingin saya kejar; matahari terbit. Andai bisa.
Berenam bersama Mbak Evi, Mas Elvan, Mas Ito, Banu, dan Agoenk kami pergi ke dermaga. Penginapan Pelangi dan mereka yang tak ikut serta, mungkin nanti akan kebagian cerita saja. Cerita versi saya tentunya. Ya, ya…setidaknya itu yang terlintas di pikiran ketika mobil mulai berangkat menembus pagi yang sedikit kesiangan.
Jalan menuju pelabuhan tak terlalu jauh, kami melewati jalan yang sama seperti saat hendak makan pecel lele di sebuah warung tenda pinggir jalan. Mobil berbelok ke kiri, melewati terminal Kota Agung. Suasana terminal masih sepi, hanya ada sebuah bus, tanpa seliweran orang-orang. Di depan terminal inilah mobil kami berhenti. Mas Elvan turun. Apa urusannya? Memesan sarapan. Ah, ya, syukurlah. Berarti ada sarapan seusai jalan-jalan melihat pasar ikan nanti. #memang semua dikasih sarapan kok Rien! Hadeeh.
|
Di penginapan Pelangi, sebelum berangkat ke pelabuhan |
|
Terminal Kec. Kota Agung, Tanggamus |
|
Sebuah bus di terminal |
Dari terminal, mobil kembali meluncur menuju dermaga. Hanya 2 menit saja, kami pun sampai. Suasana khas pasar ikan mulai terlihat. Mengingatkan saya pada pasar ikan di Pelabuhan Muara Angke, tetapi yang ini lebih kecil. Sesuatu yang sangat kentara bagi indra adalah aroma amis ikan yang menyeruak masuk hidung. Jika saat itu saya sedang hamil muda, niscaya akan hoeks hoeks begitu turun dari mobil.
Penyambut kami pagi itu tak cuma bau amis ikan, tapi juga tanah becek yang bikin saya harus menghindar sana sini. Asoy pagi-pagi main kotor dan bau tak sedap. Kapan lagi begini? Ditemani kawan-kawan kece, bawa kamera pula, sudah berasa kayak turis nyasar. Diliatin, diheranin… yaaaah GR deh gue.
|
Selamat pagi Tanggamus! |
|
Mas Elvan, juragan ikan dari Tanggamus :D |
|
Suasana pelabuhan di pagi hari |
Baiklah, mari jumpai orang-orang tangguh di pelabuhan ini. Mereka yang bangun sangat pagi menanti kapal nelayan kembali ke daratan. Menyiapkan otot bak Samson untuk mengangkat dan memikul, juga mendorong gerobak penuh bakul-bakul ikan. Dan mereka yang pergi melaut entah berangkat sejak kapan, berteman udara dingin dan hempasan angin, bahkan gelombang yang entah tingginya seperti apa, lalu kembali ke darat membawa berkilo-kilo ikan yang jumlah kilonya saya tak tahu berapa ratus.
Masyarakat pesisir dengan kesehariannya, untuk kehidupan yang terus berjalan dan mesti dilalui. Dermaga ini memperlihatkan denyutnya. Saya merasakannya, sangat dekat.
|
ikan segar nih |
|
menawar sisa |
|
ikan kembung tergolek, kehilangan nyawa |
|
Cumi lebay, eh cumi lunglai :)) |
|
Bang Zainudin.......Hayati lelah digantung, :))) |
Matahari terus naik, sementara langit masih menebarkan warna jingga yang memancing saya untuk menangkapnya. Setelah itu, perhatian saya beralih pada orang-orang yang lalu lalang di dermaga. Wanita bertopi dengan syal di leher, jongkok di dekat meja kayu berisi beberapa ekor ikan yang lesu. Lelaki tua mendorong gerobak. Perahu-perahu tertambat lelah. Kotak-kotak pendingin dekil untuk menjaga kesegaran ikan. Ikan tongkol. Ikan kembung. Cumi-cumi. Bau amis. Kucing kurus mencuri ikan, lari terbirit-birit dihalau perempuan berkupluk.
Kehidupan.
Saat perahu-perahu nelayan merapat di dermaga, saat itu juga terjadi kerumunan. Maka…
Ikan
Ikan
Ikan berlimpah di dermaga.
|
tertambat lelah |
|
Nelayan kembali dari laut membawa ratusan kilo ikan |
|
Ikan berlimpah |
|
Hanya dua jenis ikan; tongkol dan kembung |
Berbakul-bakul ikan segar tiba. Bakulnya disusun dalam gerobak, lalu di dorong ke daratan, ke tempat pelelangan. Di sana, puluhan pria telah berkerumun. Lalu, terjadilah lelang ikan. Ada seseorang yang menyebutkan angka sekian dan sekian. Namun sayang saya tak dapat mendengar dengan jelas berapa saja angka yang disebutkan. Toak yang digunakannya membuat suaranya pecah, atau mungkin kosentrasi saya yang pecah karena tak tahan bau amis? Yang jelas, ikan-ikan itu dilelang tanpa pakai timbang-timbang segala. Sepertinya harga ditakar berdasarkan isi bakul-bakul. Satu bakul sekian. Sekian bakul, maka sekian harganya.
Ke mana saja ikan-ikan itu pergi? Ke rumah-rumah masyarakat Tanggamus, hingga keluar kota. Soal kesegarannya silakan terka, makin jauh melanglang ke luar Kota Agung, akan tetap segar atau justru makin ‘kuyu’? Tapi sudahlah, yang penting si ikan 'menghidupkan' orang-orang :)
|
Suasana di tempat pelelangan |
|
Seorang laki-laki memunguti ikan yang tumpah |
Tak sampai lama kami di dermaga, karena beberapa jam ke depannya harus sudah berada di Lapangan Merdeka Kota Agung untuk menyaksikan acara pengetahan adok dan festival budaya Tanggamus. Jadi, cukup sesaat saja menyaksikan lelang ikannya.
Ketika hendak meninggalkan dermaga, terbit tanya dalam hati? Saya sudah makan ikan hasil tangkapan nelayan Kota Agung belum ya? Sudah makan bakso ikan tongkol Teluk Semaka belum ya? Uupsss....
|
Sempat dapat ini |
|
Ini bukti kita sedang di dermaga! :D *w/ mbak Evi, Mas Elvan, & Banu |
|
Sampai jumpa lagi Teluk Semaka |