Danau Ranau Lampung Barat |
Perjalanan ke Lampung kali ini diawali oleh obrolan saya dengan mbak Ita via Facebook messenger. Mbak Ita yang selama ini tinggal di Perancis, mengabari saya bahwa pertengahan April ini akan mudik ke Lampung sampai awal Mei. Obrolan tersebut sampai pada ajakan untuk jalan-jalan bareng.
Tahun lalu, kami bertemu di Ponpes Daarul Quran Yusuf Mansur. Sekedar bertemu saja dan tidak sempat jalan-jalan. Di kesempatan mudik inilah rencana jalan bareng itu dicetuskan oleh Mbak Ita. Karena sebentar lagi saya akan nge-trip ke Belitung, saya menawarkan mbak Ita untuk ikut, dan beliau sangat mau. Tapi sayang, ternyata waktunya nggak cocok. Tanggal 3 Mei mbak Ita sudah harus balik ke Perancis karena Ilhan putranya sudah harus masuk sekolah.
Tahun 2015 lalu, saat bertemu mbak Ita di Daarul Quran |
Tidak jadi jalan ke Belitung, mbak Ita lalu membuat rencana jalan-jalan ke Danau Ranau bersama ayuk-ayuknya (kakak perempuan). Saya tertarik untuk ikut, selain karena ingin berjumpa mbak Ita dan Ilhan, juga ingin merealisasikan keinginan jalan-jalan bareng. Alhamdulillah gayung bersambut, mbak Ita mau ajak saya. Soal waktu, mbak Ita bersedia menyesuaikan kapan saya luang. Saya bilang bisanya weekend tgl 22-24 April, mbak Ita pun setuju.
Sebelum berangkat, mbak Ita cerita tentang Mas Eka Fendiaspara yang akan dia temui di Liwa. Mas Eka ini kawannya Mas Yopie Pangkey. Mbak Ita juga cerita kalau dia berkawan dengan Mas Budhi Martha (kawannya mas Yopie juga). Jadi, pertemanan mbak Ita ini ternyata muter-muter di situ-situ juga hehe.
Mereka berempat ternyata satu angkatan di Unila. Mbak Ita sendiri sudah lama berteman dengan Mas Yopie di Facebook. Dari saling kenal inilah kemudian Mas Yopie dan mbak Ita saling chat. Dan akhirnya Mas Yopie pun ikut serta dalam perjalanan ke Danau Ranau.
Bertemu Encip dan Emilga di Warung Aceh |
Ada Fajrin juga! |
Jumat malam saya menginap di rumah Mbak Ita karena pagi-pagi sekali sudah harus jalan. Kenapa harus berangkat pagi? Karena perjalanan menuju Danau Ranau akan makan waktu 6-7 jam. Agar tak kesorean, kami mesti berangkat seusai shalat Subuh. Setelah acara bangun yang sedikit kesiangan, jam 5.30 kami baru berangkat dengan menggunakan Kijang Innova baru milik mbak Ita.
Singgah sejenak... |
Lampung Barat
Rombongan kami berjumlah tujuh orang, terdiri dari Mbak Ita, Ayuk Ugun, Ayuk Lina, Yogi (keponakan mbak Ita), Ilhan, Mas Yopie, dan saya. Masing-masing membawa satu tas berisi pakaian ganti karena rencananya kami akan menginap satu malam di Danau Ranau. Bagasi sudah penuh barang, termasuk persediaan makanan dan minuman selama perjalanan.
Sebenarnya saya tidak menduga bulan April ini akan kembali jalan di Lampung. Dua bulan berturut-turut saya ke Lampung, dari Januari hingga Februari. Sekarang April ke Lampung lagi. Benar-benar tak ada rencana sama sekali, apalagi membayangkan bakal punya pengalaman melihat Danau Ranau dan bertemu hewan luwak di rumah kopi luwak Ratu Luwak dalam waktu dekat.
Rumah-rumah penduduk desa |
Satu-satunya acara liburan di bulan April yang saya rencanakan hanya ke Bandung untuk liburan bersama keluarga. Dan itu sudah terlaksana pada 8-10 April lalu. Setelah dari Bandung, saya inginnya rehat untuk persiapan ke Belitung pada awal Mei. Tapi ternyata, jodoh jalan bareng mbak Ita cepat sampai. Saya menyambut jodoh itu dengan senang hati, dan akhirnya pergi ke Lampung. Di sinilah saya bulan April ini, keliling Lampung Barat.
Indahnya Lampung Barat |
Liwa
Rute menuju Liwa ternyata sama dengan rute perjalanan yang pernah saya tempuh ketika mudik ke Sumsel tahun 2015 lalu. Beberapa jalan dan belokan yang kami lewati dapat saya kenali. Jarak tempuh menuju Lampung Barat ternyata jauh. Lebih jauh dari perjalanan Jakarta-Bandung. Perlu waktu sekitar 3,5 jam untuk sampai di Way Tenong, tempat kami singgah melihat keindahan hamparan sawah dengan latar hutan dan perbukitan.
Sekitar 20 menit saja kami mampir untuk memotret, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Eka. Sempat berhenti satu kali ketika Ilhan ingin buang air kecil. Karena belum menemukan toilet SPBU, akhirnya numpang di rumah penduduk. Syukurnya diperbolehkan. Kasihan juga kalau Ilhan harus menahan lebih lama lagi. Sementara, Mas Eka beberapa kali menghubungi, menanyakan posisi kami. Sempat pula ia bertanya di facebook saya dalam foto sawah-sawah di Way Tenong yang saya upload.
Betah lihat yang beginian |
Oh ya, sebelum perjalanan ke Liwa ini, saya sudah pernah kenal nama Mas Eka lewat akun IG Keliling Lampung. Foto Mas Eka pernah diregran di Keliling Lampung, kalau tak salah tentang ojek Liwa. Dari situ saya follow. Saat Mbak Ita cerita tentang Mas Eka, saya cek kembali. Ternyata Mas Eka yang dimaksud adalah Mas Eka yang saya follow tersebut. Setelah berjumpa langsung, ternyata orangnya menyenangkan. Baik dan ramah. Mas Eka masih mengenakan baju pramuka, seragam mengajarnya hari itu. Di rumahnya, kami disuguhi kopi Liwa. Wah, nikmat sekali. Thanks Mas Eka.
Disuguhi kopi Liwa |
Mas Eka, kopinya enaaaak :D |
Laskar Ranau foto bareng keluarga Mas Eka :D |
Minum Kopi Luwak
Saya kira Mas Eka akan ikut kami ke Danau Ranau, ternyata tidak. Ia hanya mengantar kami ke rumah produksi kopi luwak Ratu Luwak dan kemudian ikut makan bersama di Khang Mengan JEJAMA, menikmati ikan mujair bakar yang dipanen dari keramba di Danau Ranau.
Kunjungan ke Ratu Luwak ini jadi kejutan buat saya karena sebelumnya memang tidak saya dengar sama sekali bahwa kami akan ke tempat ini. Sudah sejak lama mengidamkan dapat melihat luwak dan melihat langsung tempat produksi kopi luwak yang ketenarannya sudah mendunia itu. Eh ini malah mendadak kesampaian. Rejeki dan kesempatan kadang siapa yang bisa menebaknya. Kalau sudah milik ga akan kemana ya ^_^
Ganteng ya luwaknya ^_^ |
Anak luwak usia 2 bulan, di lepas di pohon kopi depan kandang |
Kopi Ratu Luwak masih berupa produk rumahan dengan hasil produksi belum sampai pada skala besar. Meski demikian, peminat dan penikmat kopi luwak Ratu Luwak tidak hanya masyarakat dalam negeri, tetapi hingga luar negeri.
Di sini terdapat ratusan ekor luwak, namun yang boleh dilihat hanya beberapa ekor luwak saja. Kandang luwak yang bisa dilihat ada di samping rumah produksi. Saya cukup kaget ketika pertama melihat luwak. Ternyata badannya besar, hampir sebesar anjing dewasa. Badannya penuh bulu, ekornya panjang, dan wajahnya mirip boneka anjing anak saya! Saya ngeri lho.
Ilhan berani pegang anak Luwak :) |
Ada satu luwak yang badannya masih kecil, kira-kira seukuran kucing dewasa. Ibu Sapri pemilik Ratu Luwak mengeluarkan luwak kecil itu dari kandangnya. Saya dan Ilhan memberanikan diri dan memegangnya. Ada satu keunikan yang diceritakan oleh Ibu Sapri tentang Luwak yakni tentang kaki ke lima luwak. Kaki ke lima yang dimaksud adalah ekornya. Jadi, ekor luwak sama kuatnya dengan kakinya. Kadang saat bergantungan di dahan pohon, luwak menggunakan ekornya untuk menahan badannya. Karena itu, kalau memegang luwak, peganglah ekornya. Kalau kuat, maka luwak tidak akan lepas dari pegangan kita.
Kotoran luwak sebelum dibersihkan |
Secangkir kopi luwak dan kopi luwak yang belum di olah. Mirip cemilannya ya? :D |
Pemberian kopi pada luwak biasanya dilakukan pada malam hari. Jumlah kopi untuk satu ekor luwak sebanyak 1,5 ons. Pagi hari, kotoran luwak baru dipanen. Ada dua macam cara pengolahan kotoran luwak. Yang pertama lansung dijemur baru dibersihkan dan dicuci. Yang kedua dibersihkan dan dicuci dulu baru dijemur. Setelah melalui proses tersebut baru disangrai, digiling dan dikemas.
Kopi luwak Ratu Luwak sudah memperoleh sertifikat HALAL dari MUI sejak tahun 2012. Jadi, aman ya buat umat muslim memakan ‘kotoran’ luwak ini. Kami pun dengan senang hati menikmati jamuan kopi luwak yang sudah disediakan ibu Sapri. Sebelum pulang, saya membeli satu kotak kopi luwak sebagai oleh-oleh untuk suami di rumah ^_^
Kopi Luwak kemasan 100 gram Rp 50.000,- |
Minum kopi luwak di tempat produksinya itu sesuatu banget :) |
Mbak Ita dan keluarganya foto bareng Ibu Sapri (baju hijau) pemilik Ratu Luwak |
Danau Ranau
Usai menikmati santap siang di Khang Mengan JEJAMA, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Danau Ranau. Saya mencatat waktu berangkat mulai jam 2.05 siang. Sampai di Danau Ranau tepat jam 3. Sebelum mencapai danau, ada turunan yang tergolong curam. Agak deg-degan ketika melaluinya. Tapi syukurlah aman dan lancar saja.
Kami membuka jendela mobil, membiarkan udara segar masuk dan bertukar dengan udara di dalam. Ayuk Ugun terlihat sangat bahagia. Ia tak henti-henti memuja muji keindahan alam yang dilihatnya, saya pun demikian. Ada satu hal yang jadi perhatian saya, jalan menuju Danau Ranau tampak sangat sepi dari kendaraan yang melintas. Jarang sekali kami berpapasan dengan mobil lain. Padahal saat itu weekend. Apa minat wisatawan terhadap objek wisata ini kecil?
Ikan Mujair dari Danau Ranau |
Makan siang yang lezat |
Kami melewati perkampungan, di kiri dan kanan banyak rumah panggung yang tak lagi panggung. Jika di sebelah kanan adalah danau, maka di sebelah kiri adalah hamparan tanaman padi di sawah. Danau terluas kedua di pulau Sumatra ini dikelilingi oleh perbukitan dengan kampung dan perkebunan kopi. Gunung Seminung pun jadi latar belakang, menambah keindahan danau.
Mobil melaju di jalan sempit yang ada di pinggir danau. Jalannya tidak bagus, berbatu dan berlubang, tidak diaspal. Kami mencari penginapan yang sudah dikenal oleh Mas Yopie. Ada aliran air seperti parit melintang di tengah jalan. Saya sempat khawatir dengan mobil baru mbak Ita. Sempat ada kayu mengenai bagian bawah, terdengar bunyi kayunya walau tidak keras.
Suasana pinggir danau di penginapan yang tak jadi kami tempati |
Menginap di Lumbok Ranau
Jam 15.35 kami tiba di penginapan yang dimaksud oleh mas Yopie. Penjaganya sedang tidak ada di tempat. Kami pun menunggu sambil melihat-lihat. Saya suka tempat ini. Bangunannya berdiri di pinggir danau dan punya view yang cantik.
Terdapat dua saung, dermaga yang dilengkapi atap, dan tempat duduk. Terasa nyaman sekali duduk di sana, apalagi sambil menikmati pemandangan sekeliling, terutama Gunung Seminung yang berdiri gagah seolah memagari danau. Terbayang nggak kala bangun di pagi hari buka jendela langsung disuguhi pemandangan alam seperti ini? Pasti tertegun, lalu melamun…
Semua suka suasana di sini |
Ilhan, dermaga, dan Gunung Seminung yang gagah |
Sempat hujan saat duduk di sini |
Tempatnya enak buat melamun |
Menunggu ujung petang |
Setelah penjaga datang, mbak Ita dan yang lainnya mulai melihat-lihat. Tapi karena ada yang tidak cocok, kami tidak jadi menginap di sana. Kami kembali balik arah, menuju Lumbok Ranau, penginapan milik dinas perikanan. Meski awalnya sempat ragu untuk bermalam di sini, tapi akhirnya jadi juga.
Penginapannya berupa rumah panggung dengan tiga buah kamar yang disewakan. Kami ambil dua. Satu untuk kamar laki-laki, satunya lagi untuk kami para perempuan. Rumah panggung tinggi dengan tangga yang curam ini punya balkon yang luas.
Akhirnya nginap di sini |
Kamar, kebun, dan hujan. |
Di balkon yang juga berfungsi sebagai ruang duduk terdapat banyak kursi dan meja. Enak buat duduk-duduk dan bersantai ketimbang di kamar. Maklum, kamarnya lama tak ditempati. Berasa pengap dan hawanya nggak enak. Meski sudah dibersihkan oleh dua orang embak-embak, sudah dikibas-kibas dan dipasang sprei baru, tetap saja ada rasa yang nggak membuat nyaman.
Air di kamar mandi mengalir lancar, tapi baunya agak sedikit kurang sedap. Bersih sih, bisa dipakai mandi dan wudhu. Tapi sore itu tak seorang pun dari kami yang mandi. Udara luar terasa lebih segar, apalagi di sebelah penginapan ada kebun. Ada pancuran yang airnya tak henti mengalir. Gunung, danau, dan perbukitan, jadi semakin elok dipandang dari rumah tinggi yang berada di tempat agak tinggi ini.
Tempat duduk-duduk di depan kamar |
jadi tempat makan |
Malamnya, seusai makan malam kami tidur-tiduran di luar. Ilhan, yuk Gun, yuk Lina, Yogi, dan Mas Yopie, sudah menempati posisi masing-masing. Ada 3 kursi panjang, sisanya kursi pendek yang dirapatkan sehingga bisa ditiduri. Sepertinya semua akan tidur di luar karena udaranya sejuk. Sudah nyaman dan terkantuk-kantuk, tiba-tiba hujan deras. Meski tidak sampai basah, tapi angin yang disertai percikan hujan sukses bikin kami kedinginan dan tidak nyaman. Akhirnya semua masuk kamar. Tidur di dalam kamar.
Karena sudah lelah, nempel bantal langsung tidur. Saya tak mendengar suara apapun lagi, termasuk lolongan anjing di tengah malam yang didengar oleh Mbak Ita dan Yuk Gun. Pulaaaas…
Pagi yang senyap |
Pagi nan Syahdu
Sejak tiba di Danau Ranau pada Sabtu sore (22/4), Ilhan sudah minta nyebur. Karena waktunya tidak memungkinkan (sudah kesorean), akhirnya ditunda Minggu pagi. Saya sudah berniat akan menemaninya berenang.
Jam 6 pagi saya dan Mas Yopie turun ke danau untuk memeriksa keadaan di sekitar dermaga. Penginapan kami tidak berada di tepi danau, kalau mau ke dermaga mesti menyeberangi jalan dulu. Jaraknya sekitar 20 meter dari pagar penginapan. Setelah saya lihat-lihat, sepertinya di dekat dermaga kurang enak buat tempat berenang. Ada semacam ‘bumbu’ kehijauan dalam airnya. Terlihat kotor dan tidak jernih. Ada pula tumbuhan air (eceng gondok).
Hilir mudik mengayuh perahu hendak memeriksa jaring ikan |
Sambil berharap bisa melihat matahari muncul dari balik bukit, kami mencoba memotret suasana sekitar danau. Ada laki-laki sedang naik perahu, mondar-mandir memeriksa jaring ikan. Air danau tampak seperti beruap. Uapnya berkilau seolah kena pantulan cahaya. Padahal matahari belum terlihat memancarkan sinarnya.
Suasana saat itu masih sepi. Tak seorang pun terlihat di dekat keramba ikan. Gunung Seminung dan punggung perbukitan terlihat seperti bayangan hitam yang berdiri gagah menantang pagi. Langit di sebelah timur perlahan mulai benderang. Tapi sepertinya sang mentari naik dengan tertatih.
Saya putus asa, lalu mengajak Mas Yopie pergi, berjalan mengikuti jalan desa. Di kiri jalan ada hutan kopi, tumbuh rapat hingga ke atas bukit. Sesekali ada warga melintas, seorang nenek, seorang kakek, dan dua orang remaja perempuan. Langkah mereka ngebut. Rasanya saya lihat si nenek masih di belakang, tahu-tahu lewat dan sudah jauh di depan. Saat ditanya hendak kemana, dua remaja menjawab hendak ke kebun. Entah kebun apa.
Kami hanya jalan kaki sebentar, setelah itu balik lagi ke penginapan. Sebenarnya masih ingin jalan sampai jauh, berlama-lama menikmati segarnya udara pagi. Tempat ini benar-benar memanjakan paru-paru, juga mata. Tiada polusi, tiada pula lalu lalang kendaraan yang berisik dan bikin nyeri mata. Bikin betah. Alangkah bahagianya hidup di desa….
jalan sehat di tempat sehat |
Saya ingin Ilhan melihat sendiri keadaan air di danau. Usai sarapan, saya ajak dia ke dermaga. Saya tunjukkan kondisinya. Setelah melihat sendiri, Ilhan menyatakan urung berenang. Saya nggak tega sebenarnya. Kalaupun Ilhan tetap mau berenang dengan kondisi air danau seperti itu, tetap akan saya temani. Tapi dia sudah memutuskan tidak. Ya sudah nggak jadi.
Meski tak sempat merasakan mandi di Danau Ranau, tapi saya sudah cukup senang dapat menikmati keindahan danau dari dekat. Lain waktu kalau mau lebih puas, mungkin harus menginap 2-3 malam. Bisa mandi, jalan-jalan di kampung, naik perahu, memancing dan memotret sampai lelah.
Seperti yang kita tahu, sepertiga Danau Ranau masuk wilayah administrasi Lampung, duapertiganya masuk wilayah administrasi Sumsel. Jadi, saya tak harus pulang kampung ke Sumsel dulu untuk dapat sampai ke danau ini karena dari Lampung pun bisa. Malah lebih dekat ^_^
Lain kali semoga danaunya lebih bersih biar kita bisa berenang dan nyebur2 ya Ilhan ^_^ |
Kembali ke Bandar Lampung
Perjalanan pulang masih melalui rute yang sama. Tapi waktu yang kami tempuh terasa labih cepat. Kami singgah tiga kali, pertama di SPBU, kedua di rumah makan Bu Mar 1 Kotabumi, ketiga di Masjid Agung Istiqlal Bandar Jaya. Saya masih ingat masjid ini, dulu waktu ke Sumsel lewat jalan darat pernah dua kali mampir untuk shalat.
Ayam goreng RM. Bu Mar 1, Kotabumi |
Masjid megah di Bandar Jaya |
Karena rute yang dilalui lewat bandara lebih dulu, maka saya duluan turun. Saat saya melihat jam, ternyata baru jam 3 sore. Jadi senang karena kekhawatiran bakal telat ternyata tidak terjadi. Bahkan saya masih punya waktu 3,5 jam sebelum jadwal penerbangan pukul 18.55 WIB. Lebih baik kelamaan menunggu dari pada ketinggalan pesawat. Tapi saya jadi merasa bersalah sama Ayuk Ugun, gara-gara takut ketinggalan pesawat, ajakannya untukmandi di pancuran jadi batal.
Moga di lain waktu ada kesempatan lagi jalan-jalan ke Lampung Barat. Masih belum kesampaian melihat lembah Batu Brak, dan belum kesampaian berenang di danau....
Bagaimana dengan pengalamanmu menjelajah Lampung Barat?
*Photo oleh Katerina & Yopie Pangkey