Failonga, pulau kecil tak berpenghuni yang menawarkan keanekaragaman hayati laut timur. Sebuah pulau dengan air laut bagaikan cermin, membuat awan putih tidak hanya berkeliaran di langit, tetapi juga di air laut. Keindahan pasir putih, bebatuan di pantainya yang landai, airnya yang dangkal dan sebening kristal, bagai magnet yang membius. Pulau sunyi dengan kecantikan alami ini dapat dicapai sekitar 10 menit saja dari Pelabuhan Goto Tidore.
Pulau Failonga - Tidore Kepulauan |
Gagal Snorkeling
Selama di Tidore, saya sering tidur larut malam. Beberapa kali memang karena ada kegiatan yang baru kelar agak malam, bahkan ada yang pernah sampai tengah malam. Tapi di luar itu, karena mata memang jadi sulit terpejam. Hal yang biasa terjadi saat saya sedang dalam keadaan haid. Ya, siklus bulanan itu menghampiri sejak pertama tiba di Tidore hingga pulang dari Tidore.
Seperti malam itu, Senin 10 April 2017, usai nyanyi-nyanyi senang di Kora-kora Kafe milik Bams, rasa kantuk tak jua berbuah tidur meski badan telah terbaring di atas kasur di salah satu kamar Seroja. Semestinya saya lekas istirahat karena esok hari rombongan blogger akan berangkat pagi-pagi untuk snorkeling di Pulau Failonga.
Suasana nyaman di balik jendela kamar kami |
Alhasil, selasa pagi saya terbangun dengan mata yang masih digelayuti kantuk. Bayangan tidak bisa ikut bersenang-senang main air di Pulau Failonga, menambah rasa kantuk itu. Urusan haid ini memang mempengaruhi mood. Syukur alhamdulillah masih sehat-sehat saja. Biasanya ada acara pusing, mual, mules, bahkan muntah segala.
Soal berendam di laut dalam keadaan haid, sebetulnya bukan masalah. Tekanan dalam air membuat darah haid berhenti keluar. Yang jadi soal adalah di pulau tidak ada tempat ganti. Bisa sih sekedar nyebur, tapi saat keluar dari air, apa yang lain bisa tahan melihat ada yang merah-merah berceceran? Kalo balik ke Pulau Tidorenya berenang sih tak apa hehe. Saya kan baliknya tetap naik speedboat bareng rombongan.
Jadi, syarat untuk nyebur saat haid itu cuma satu saja: Bisa ganti pakaian basah dengan pakaian kering, maka urusan nyebur-nyebur beres. Kalau tidak ada tempat ganti pakaian, harus rela berkering-kering ria sambil gigit jari.
Baca juga : Nikmatnya Kuliner Tidore di Restoran Safira
Penginapan kami dan mobil oren kebanggaan :D |
Keliling Tidore dengan Kendaraan BNPB
Kami berangkat menggunakan mobil bak terbuka warna oren, mobil kebanggaan blogger selama di Tidore. Ada mobil bagus semacam Avanza, tapi kami lebih suka naik mobil bak! Supir andalan kami Rifqi. Dia yang menyetir mobil itu kemanapun kami pergi.
Ada sensasi tak biasa naik mobil bak terbuka, meski naiknya rada susah. Saat naik mesti dibantu dengan ditarik. Saat turun mesti dengan sedikit meloncat.
Duduk di bak mobil jadi lebih leluasa memandangi suasana Kota Tidore yang senantiasa lengang. Kerudung berkibar-kibar ditiup angin. Mata dimanjakan oleh pemandangan gunung dan laut. Serunya, kalau sedang bicara mesti pakai nada sedikit tinggi, supaya bisa melawan deru angin dan suara jadi kedengaran.
Seru!
Kapan lagi bisa seseru ini? |
Rifki menyetir tidak santai. Mobil Avanza yang dikemudikan mas Gathmir sudah lebih dulu di depan. Kami menuju Pantai Tugulufa. Di sana, speedboat oren sudah menunggu.
Oren lagi?
Ya, setelah mobil BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), kali ini speedboat-nya pun pakai punya BNPB. Kendaraan penyelamat semua.
Mungkin kami ini punya tampang-tampang yang patut diselamatkan. Atau mungkin juga kami ini punya tampang penyelamat. Makanya punya chemistry dengan kendaraan-kendaraan oren itu *lol.
Apapun kendaraannya, yang penting kami happy. Hidup tim Oren!
Mobil oren dan speedboat oren. Hidup Oren! |
Pantai Tugulufa
Turun dari mobil bak dengan sedikit gaya loncat indah, lalu menuju speedboat dengan mode slow motion*ngana pikir ini syuting film?!
Ternyata kami tidak boleh naik speedboat dari Tugulufa. Katanya, harus naik dari Pelabuhan Goto. Bayar retribusi dulu di sana, baru meluncur ke Failonga. Olala…kalau tahu gitu kami turun di pelabuhan saja.
Speedboat itu meluncur ke Goto, kami menyusul dengan jalan kaki. Siapa paling cepat? Pesawat Jet!
Saat itu mobil-mobil kami sudah tidak ada. Rifki, entah dia kemana dengan mobil orennya. Ditelpon tidak bisa, di kirimi pesan lewat WA tapi tidak ada sinyal. Ternyata Rifki mengikuti mas Gathmir, dikiranya mau menaruh mobil di rumah Bang Yudi. Pagi yang seru ketika dua orang saling cari akibat gagal paham haha.
Suasana jalan di pinggir Pantai Tugulufa, lengang, disaksikan Kie Matubu |
Suasana pagi di Pantai Tugulufa terasa syahdu. Matahari sedang merayapi langit, hangatnya terasa lembut menyentuh setiap inci kulit. Jalanan masih lengang, dan selalu begitu.
Puncak Kie Matubu tanpa awan, menjulang gagah di pagi yang damai. Saya, Dedi, dan mas Dwi menyempatkan berfoto pada sebuah bangku di pinggir pantai.
Saya membayangkan duduk di situ bersama belahan jiwa. Menikmati pagi dengan sunrise-nya. Atau bercengkerama sore menanti terbenamnya matahari. Berduaan di bawah langit keemasan. Bicara tentang masa tua nanti, menikmati sisa hidup di tempat setenang Tidore. Alangkah indahnya..
“Ayo jalan, nanti keburu siang.” Lamunan itu buyar.
Saya membayangkan duduk di situ bersama belahan jiwa. Menikmati pagi dengan sunrise-nya. Atau bercengkerama sore menanti terbenamnya matahari. Berduaan di bawah langit keemasan. Bicara tentang masa tua nanti, menikmati sisa hidup di tempat setenang Tidore. Alangkah indahnya..
“Ayo jalan, nanti keburu siang.” Lamunan itu buyar.
Pantai Tugulufa merupakan salah satu pantai terkenal di Tidore. Di sini tidak ada pantai pasir, tempat di mana kita bisa berjalan kaki sambil bersentuhan langsung dengan air laut. Pinggiran pantai telah disemen, bagian atasnya dibuat trotoar. Ada jarak dengan air laut dengan ketinggian sekitar 2-3 meter. Ada taman dengan bangku-bangku di beberapa titik, tempat duduk gratis bagi siapapun yang ingin bersantai di Tugulufa.
Jadi, kalau ke sini kita hanya datang untuk menikmati suasana pinggir laut saja. Ada pemandangan selat dan Pulau Ternate di kejauhan, juga sunrise dan sunset yang bisa disaksikan pada waktunya masing-masing.
Istimewanya, meski tempat ini gratis dan terbuka untuk umum, tapi suasananya tenang, tidak ada keramaian yang membuat orang jadi tidak nyaman. Tidak ada pedagang asongan yang hilir mudik menawarkan dagangan. Mungkin karena Tidore itu dikelilingi laut, ya. Jadi warganya tidak melulu harus ke Tugulufa untuk bersantai menikmati suasana pinggir laut, di mana saja bisa.
Ada beberapa warung di pinggir pantai yang menjual bermacam menu seperti bakso, soto, ayam bakar, mie ayam, dan cemilan-cemilan seperti pisang goreng. Kawasan pantai ini cukup bersih dan nyaman, bikin mood tetap baik ketika duduk-duduk sambil menikmati makanan yang dipesan.
Kendaraan umum bentor melintas di jalan utama Tidore |
Pelabuhan Goto
Tak lama mobil Mas Gathmir datang, begitu juga mobil yang dibawa oleh Rifky. Kami naik lagi, ngebut menuju pelabuhan yang jaraknya ternyata tidak begitu jauh dari Pantai Tugulufa. Tapi, kalau ditempuh dengan jalan kaki sih lumayan gempor.
Sampai di pelabuhan, mobil mengambil tempat di area parkir yang tersedia. Tempat parkirnya tidak terlalu luas, tapi cukup untuk menampung 10-15 mobil. Ada beberapa angkot dan bentor di bagian depan pelabuhan, menunggu penumpang. Di sisi kanannya ada warung-warung makanan dan minuman.
Kami memasuki pelabuhan dengan riang. Ada seorang petugas duduk dekat meja kecil di tengah jalan masuk menuju dermaga. Kami membayar retribusi padanya. Suasana pelabuhan Goto tidak seramai pelabuhan Rum. Mungkin karena Goto adalah pelabuhan peti kemas, tidak banyak orang mondar mandir. Oh, tapi pelabuhan ini melayani rute Tidore – Sofifi dengan kapal ferri.
Baca juga : Lomba Menulis Blog Tidore Untuk Indonesia
Bentor, warung, dan area parkir di depan Pelabuhan Goto |
Angkot di Pelabuhan Goto |
Nuansa biru mendominasi Pelabuhan Goto. Mulai dari warna cat bangunan di kiri kanan gerbang pelabuhan, hingga gerbang pelabuhan itu sendiri, dari atap hingga tiangnya.
Keluar dari gerbang utama langsung disambut laut biru nan jernih, juga langit yang tak mau kalah biru. Jika berlama-lama di sana, saya khawatir badan jadi ikut biru, seperti smurf haha.
Speedboat oren kami tampak paling ngejreng di antara speedboat lain yang dominan warna putih dengan variasi warna biru. Satu persatu kami naik.
Jumlah kami 17 orang, terdiri dari Bang Yudi, Bang Udin, Fia, Mas Gathmir, mbak Anita, yuk Annie, saya, mas Eko, Rifqi, mbak Zulfa, Yayan, Dedi, mas Dwi, Ayu, mbak Tati, serta 2 orang awak speedboat.
Pelabuhan Goto |
Speedboat di Pelabuhan Goto |
Menyeberang ke Pulau Failonga
Jaket pelampung, bekal sarapan pagi, alat snorkeling, dan barang bawaan masing-masing semua sudah masuk. Speedboat penuh. Entah sudah melebihi batas maksimum muatan atau belum.
Perjalanan dimulai, boat melaju dengan kecepatan maksimal. Suara mesin menderu, menerjang gelombang dan angin, menciptakan buih-buih di buritan. Orang-orang bicara agak berteriak, berusaha menaklukkan suara mesin. Tawa dan canda tercipta, menyambut gembira perjumpaan pertama dengan Failonga yang selama ini membuat penasaran bagi kami yang belum pernah ke sana.
Bagi pelancong yang ingin berkunjung ke Pulau Failonga, kapal cepat memang harus disewa, lantaran tidak ada transportasi umum yang khusus menuju Failonga. Waktu yang tepat untuk ke Failonga adalah pagi hari, saat gelombang belum terlalu tinggi, saat emosi belum meninggi #eh.
Kapal penuh, Kapten! |
Waktu tempuh menuju Failonga sekitar 10 menit saja. Ini menguntungkan mereka yang mudah dilanda mabok laut, jadi tidak terlalu lama menahan derita mual dan pening. Saya bukan termasuk yang mudah mabok laut, tapi disaat haid, biasanya mendadak jadi serba sakit. Entah itu mual, mules, bahkan pingin muntah.
Saya sempat merasa keliyengan, tapi yakin banget itu bukan karena bawaan haid, melainkan karena belum makan! Yes, jam 8.30 WIT, dan saya belum makan nasi (kudu nasi!).
Lambung yang memang mudah bermasalah, langsung deh kena. Akibatnya muncul nyut-nyutan di kepala, perut pun jadi mual. Untuk menghindari kejadian tidak enak (baca: muntah), nasi bungkus yang dibawa dari Tidore, langsung saya makan.
Pendekar Tidore duduk di buritan |
Eksotisme Failonga
Failonga nan cantik akhirnya di depan mata. Begitu dekat, begitu nyata. Dari kejauhan, pasir putihnya yang cemerlang tampak berkilau terkena sinar matahari. Perpaduan batu dan pasir di pantainya yang landai, bagai Xena, si warrior princess, cantik sekaligus garang. *siapa tuh Xena? :))
Pulau Failonga hanya seluas 1,1 km2. Sekitar 20 menit saja untuk mengitarinya dengan perahu. Hutan pulaunya yang lebat, bisa jadi tempat berteduh dari sinar matahari yang menyengat tanpa ampun.
Bagi yang sayang kulit, pakailah sunblock tebal-tebal di sini. Sekali kena sengat, bisa menyebabkan bolak balik melakukan perawatan kecantikan kulit hihi.
Pulau Failonga, kecil-kecil cantik |
Speedboat fiberglass kami mengapung ringan. Bagian bawahnya tidak menyentuh terumbu karang, aman jika mendekati daratan. Tapi sayang tak bisa tenang, ombak terlalu kencang.
Akhirnya perahu pindah ke tempat lain. Ombaknya lebih tenang, tapi tempatnya lebih dangkal. Perahu berhenti agak jauh, sekitar 20 meter dari pantai. Teman-teman mesti berenang untuk mencapai tepian.
Semua mengenakan jaket pelampung, lalu turun satu persatu. Saya agak cemas melihatnya, karena ada yang harus ditarik segala, tidak kuat melawan arus air.
Betapa susahnya untuk turun. Jika ada dermaga, tentu akan lebih mudah bagi perahu untuk bersandar. Wisatawan pun bisa mencapai daratan tanpa harus berenang-renang sambil membawa barang bawaan.
Dan yang paling penting, dengan adanya dermaga yang menjorok agak jauh ke laut, bisa menyelamatkan terumbu karang dari kerusakan yang disebabkan oleh perahu yang mungkin saja bakal kerap merapat ke tepian tanpa menghiraukan keberadaan terumbu karang yang ada di bawahnya.
Kalau bawah laut sudah rusak, keindahan apa lagi yang bisa dilihat di Failonga?
Kembali ke Tidore
Semua telah turun, tinggal saya sendiri. Tak ada cara untuk turun dalam keadaan tanpa basah. Saya memotret saja. Tak lama, mesin dihidupkan, speedboat kembali ke Tidore, menjemput Bams, Oji, Aka, dan semua bahan makanan untuk makan siang. Saya ikut serta.
Kembali merasakan ngebut di laut Tidore, tapi dalam keadaan lebih santai. Perahu seperti melayang, sesekali seperti melompat. Apa yang terjadi? Tampaknya gelombang tak lagi sependek ketika berangkat.
Beberapa saat saya tercenung sendirian, memperhatikan ombak yang diterpa angin, berbuih-buih panjang di buritan. Failonga semakin jauh, makin kecil dari pandangan. Bisa kah speedboat ini membawa saya ke Surga? Fyuuuh….mulai deh berhalusinasi.
Baca juga : Menjadi Juri Lomba Blog Tidore Untuk Indonesia
Pantai Tugulufa berlatar Kie Matubu, dilihat dari perahu yang masih dilaut |
Speedboat kembali ke Pantai Tugulufa, bukan Pelabuhan Goto. Pria yang sejak awal sibuk dengan mesin, menelpon seseorang untuk minta diantar bahan bakar.
Waktu menunjukkan jam 9.45 WIT. Saya bergegas menelpon Bam. Bam bilang, 30 menit lagi berangkat. Ditunggu 30 menit, belum ada juga. Saya SMS, bilangnya 3 menit lagi otw. Jiaaah…ujung-ujungnya jam 11.30 dia baru muncul. Hadeuuuh…1,5 jam nunggu di speedboat, hampir garing kepanasan.
Rupanya Bam mencari ikan segar dulu, buat dibakar di Failonga. Ada nasi dan sambal dabu-dabu yang mesti disiapkan dulu, ya kan? Nah iya, itu bukan pekerjaan cepat. Kalau saya jadi mereka, belum tentu juga kelar dalam 1,5 jam. Saya tak jadi ngomel-ngomel garing.
Speedboat kembali menuju Failonga. Melaju lebih kencang dari sebelumnya, seperti dikejar serigala laut. Ada ya serigala laut? :D
Batu-batu besar di Pantai Pulau Failonga |
Bersenang-senang di Failonga
Sepertinya air di laut Failonga telah lebih surut dari sebelumnya. Saya mencoba turun, sayang salah terka. Ternyata masih dalam, tetap basah juga setinggi paha. Tapi untung tidak lebih tinggi lagi, kalau iya, tamatlah apa yang sejak awal saya jaga agar tetap kering. Beruntung cuaca sedang panas-panasnya. Celana yang basah perlahan mengering.
Entah apa saja yang telah dilakukan teman-teman selama saya pergi. Saya menjumpai mereka sedang beristirahat di bawah pohon, di antara batu-batu besar pinggir pantai. Tampaknya sudah puas main air dan snorkeling.
Saya terperanjat melihat mas Eko, kulitnya jadi lebih hitam. Alangkah cepatnya gosong.
Yayan omnduut.com bersantai di atas lazy bed |
Saya tak sabar ingin menikmati keindahan Failonga. Sekarang giliran saya bersenang-senang. Ada satu tempat yang saya incar, yakni ketinggian. Ya, di sana ada batu tinggi yang bisa dipanjat untuk mendapatkan view sekitar Failonga.
Saya ajak Oji naik, buat bantu ambil gambar. Saking terburu-buru, jadi kurang hati-hati. Dengkul kanan membentur batu. Sakitnya bukan main. Benturan itu ternyata menyebabkan memar lama hingga satu minggu kemudian.
Memang perlu perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang bagus, dan saya mendapatkan itu setelah sampai di atas.
Bareng Mbak Anita dan Kak Gathmir |
Dari atas, untuk pertama kalinya saya melihat Failonga begitu menawan. Tertegun saya dibuatnya.
Pasir putihnya yang lembut, bebatuannya, air lautnya yang bening berwarna hijau kebiru-biruan, bahkan bayang terumbu karang di dasarnya pun kelihatan.
Nun jauh di seberang lautan, Pulau Ternate dengan Gunung Gamalama-nya dan Pulau Tidore dengan Kie Matubu-nya, menjulang gagah dengan jajaran bukit bak punggung naga.
Saat itu ada Nale, admin akun IG @TidoreIsland. Entah kapan dan pakai apa dia datang. Ingatan saya samar tentang itu. Yang jelas, saya senang bisa ketemu Nale. Sudah sejak tahun lalu saya mengamati akun IG yang dipegangnya, akun yang berisi foto-foto indah dari Tidore. Nggak sangka malah ketemu orangnya di Failonga.
Nale itu pendiam, tapi ramah dan baik banget. Dia malah banyak bantu saya ambil foto. Nale bawa drone. Darinya kami jadi punya video bagus. Video itu diupload di IG @TidoreIsland, siapapun bisa lihat bagaimana keseruan kami saat di Failonga.
.
.
Makan Siang Seru di Pinggir Pantai
Bagian terindah yang selalu saya ingat dari Failonga adalah sesi makan. Ini bagian paling berkesan. Kami makan siang di pinggir pantai, di antara batu-batu besar yang berserakan. Di bawah pohon, di antara sinar matahari yang berjuang mati-matian menerobos dedaunan.
Ikan-ikan kembung dibakar oleh Bam, Aka dan bang Yudi. Asapnya mengepul. Api sesekali ditiup. Ikan dibolak balik.
Nasi diletakkan di atas daun pisang yang dibawa dari Tidore. Sambal dabu-dabu di dalam baskom. Satu persatu ikan matang, ditaruh di atas daun. Satu-satu mengambil jatah, lalu menikmatinya bareng-bareng.
Mewah! |
Kami mengelilingi daun pisang. Duduk dengan gaya bebas, tanpa sungkan, tanpa jaim, tanpa memikirkan soal higienis. Badan penuh pasir. Baju basah bercampur peluh. Ada yang menyilangkan kaki. Ada yang selonjoran. Ada yang menyamping. Ada pula yang setengah membungkuk. Untungnya tidak ada yang sambil salto. Semua posisi mengikuti kontur pantai yang tidak rata.
Apapun itu, gaya tangannya tetap sama. Menyuap makanan ke dalam mulut.
Apa yang saya rasakan saat itu, adalah betapa kami begitu dekat, begitu akrab. Sama rasa, lapar, enak, kenyang, dan puas. Kapan saya pernah begini saat jalan-jalan bersama teman? Belum pernah kecuali saat itu, di Failonga.
Kemewahan itu memang relatif. Kadang berupa fisik tempat makan yang megah, hidangan mahal yang diolah oleh chef-chef handal bergaji puluhan juta per bulan, dengan pelayan berdasi yang siap membantu apapun yang kita minta. Kadang berupa hal sederhana berbiaya murah meriah, berlantai bumi beratap langit, tapi dalam suasana yang tidak bisa dicipta dengan seberapa pun banyaknya uang.
Ikan kembung bakar, nasi, sambal dabu-dabu. Mewah! |
Ada saat lidah dimanjakan oleh menu-menu spektakuler yang bikin lidah seperti menjerit-jerit keenakan, ada pula saat mulut jadi tidak berhenti mengunyah hanya karena seekor ikan bakar yang dimakan bersama sambal dabu-dabu.
Yang lebih ‘sadis’ lagi, makannya di hadapan laut yang airnya super jenih, dengan latar belakang Pulau Ternate yang terkenal itu. Diselingi obrolan segala topik, kelakar yang memancing tawa, hingga celetukan-celetukan usil yang berujung bully-bullyan yang tak menyinggung perasaan.
Hal-hal yang membuat bahagia, nikmatnya kadang bikin badan pingin kejengkang senang. Mantap jiwa!
Selamatkan Failonga
Saya bersama orang-orang yang sangat menjaga lingkungan dan kelestarian alam. Semua barang yang kami bawa ke pulau, dibawa masuk lagi ke dalam speedboat. Termasuk sampah, semua dimasukkan dalam kantong besar, diangkut lagi ke Tidore.
Tak ada batang pohon yang dipatahkan. Tak ada batu yang dicoret dengan kata-kata alay. Tak ada sampah yang ditinggalkan. Tak ada api yang masih menyala.
Oh ya, asal tahu aja. Di pulau kecil dan cantik ini kami menemukan sampah bekas pengunjung sebelumnya. Tidak banyak, tapi ada, dan itu mengganggu. Kalau dibiarkan, dari sedikit bisa jadi bukit, dari satu bisa jadi seribu. Lama-lama pulau kecil ini bisa jadi pulau sampah.
Foto-foto cantik boleh, tapi batunya jangan dicorat-coret ya :) |
Yang lebih mengenaskan, kenyataan bahwa terumbu karang yang ada sudah banyak yang rusak. Saya mendapatkan pengakuan tersebut dari salah seorang teman yang hari itu snorkeling di Failonga.
Seperti yang saya ceritakan di awal ketika sampai di Failonga, perairan di sekitar pulau ini dangkal. Perahu yang mendekat ke pantai, kemungkinan tanpa sadar telah menabrak apa saja yang ada di bawahnya.
Itu baru satu perahu. Bagaimana jika berpuluh-puluh perahu bahkan ratusan perahu? Kelak, bukan keindahan lagi yang ditemukan di Failonga, tapi kerusakan. Jembatan/dermaga memang sifatnya sudah urgent kalau kasusnya sudah seperti ini.
Pulau Ternate di kejauhan |
Vandalisme? Ada! Batu paling atas yang saya naiki terdapat coretan yang dibuat dengan cat pilox. Meski cuma satu-satunya tulisan yang saya temui, tapi jadi bukti bahwa pernah ada yang ke sana dengan kelakuan ala anak alay. Merusak banget deh.
Sejak dulu, baju pelampung yang disiapkan untuk orang yang akan snorkeling bukan hanya agar selamat dari tenggelam, tapi juga agar tetap mengapung dan tidak menginjak terumbu karang. Sudah menjadi hukum wajib agar selama snorkeling kaki tetap di atas, bukan bertumpu pada terumbu karang.
Baju pelampung WAJIB ada dan wajib dikenakan ketika snorkeling. Selain untuk menjaga keselamatan diri, juga menjaga keselamatan taman bawah laut dari kerusakan. Hal semacam ini harus menjadi perhatian penting bagi semua pihak, baik wisatawan, guide, maupun agent wisata.
Saya sayang Failonga. Pulau kecil ini terlalu cantik untuk dirusak. Jika tak ada yang dapat menjaganya, lebih baik Failonga ditutup saja sebagai tempat rekreasi.
Kalau bersih begini, enak kan liatnya :) |
Failonga, ‘surga’ tersembunyi di laut Tidore
Jam 2 siang kami mulai beranjak meninggalkan Failonga. Puas? Tentu saja tidak karena saya belum merasakan main air di lautnya. Tidak berenang, tidak berendam, dan tidak pula snorkeling.
Tidak puas bukan berarti kecewa. Saya masih bisa merasakan kesenangan lain. Terlalu lucu jika di tempat semenarik ini tidak bisa mendapatkan kesan indah selain dengan cara nyebur dalam airnya.
Hal-hal sederhana, meski cuma duduk-duduk saja, bisa menjadi istimewa. Menikmati suasana sambil meresapi dalam-dalam apa yang tersuguh di pulau ini.
Merasakan lembutnya hembusan angin laut. Mencium aroma batang-batang kayu dari hutannya yang kesepian. Memanjakan mata dengan pemandangan dua pulau sarat sejarah di timur Indonesia. Mengabadikan apa yang dilihat ke dalam bingkai lensa kamera.
Dan kesenangan saya adalah ketika berhasil memasukkannya semuanya ke dalam jiwa.
Buat berenang santai, snorkeling cantik, duduk-duduk manja, atau foto-foto kece, Failonga tidak akan mengecewakan ^_^
Untuk melihat foto dan video underwater Pulau Failonga, bisa cek akun instagram @Tidoreisland.
Sampai jumpa lagi Failonga |
Contacts: Anita Gathmir – 0815.1433.7014, Gathmir – 0816.829.959, Annie Nugraha – 0811.108582. Emails: anitagathmir99@gmail.com, gathmir@yahoo.com, annie.nugraha@gmail.com, visittidore@gmail.com
Video kami saat rekreasi di Pulau Failonga: