Membongkar kenangan dalam album lama |
Cerita Rumah Besar Bermula Dari Sini
Bulan depan anak pertama saya akan berulang tahun ke-18. Tiap menjelang ultahnya, saya selalu terkenang masa-masa mengandung, melahirkan, dan masa kecilnya yang menggemaskan. Salah satu kebiasaan saya adalah membongkar album lama, kali ini untuk melihat ulang tahun pertamanya. Saat bongkar-bongkar album inilah sering tak sengaja menjumpai banyak foto lama. Di antaranya, foto-foto kala muda masih "zaman jahiliyah"😅 Foto-foto yang seringkali bikin malu sendiri karena terlihat berbusana selalu terbuka. Itu sebabnya saya sangat jarang bercerita masa lalu pakai foto, karena banyak yang tak layak tampil di dunia maya. Selain itu, karena suami saya melarangnya.
Alhamdulillah di album foto ultah pertama Alief sudah berada di zaman tobatiyah (sudah berhijab), jadi tak perlu ditutupi dan ditahan-tahan 😁
Bongkar-bongkar album membuat saya terkenang pada banyak hal, salah satunya tentang Rumah Besar dari masa ke masa.
Kumpulan foto di hari ultah Alief ke-1 Alief di rumah kakek |
Alief di usia 1 tahun. Foto ini masih di acara ultah, abis makan-makan, lanjut renang-renang. |
Zaman belum ada kamera digital, setiap foto begitu berharga, dicetak dan disimpan rapi dalam album. (foto dari album ultah Alief ke-1) |
Foto-foto ini belum rusak, awet juga padahal sudah 17 tahun berlalu. Cetak di FUJIFILM memang sebagus itu hasilnya. (foto dari album ultah Alief ke-1) |
Ketemu foto saat muda dan masih berbusana terbuka 😅Ini foto di curup dekat villa kakek di Batu Layang. |
JAKARTA Tahun 1997 Atas: Foto di Taman Ria Senayan saat baru-baru buka. Bawah: Foto-foto di Dufan Ancol. Hobi banget foto dan difoto, dari dulu 😅 |
Ternyata ada gunanya juga rajin menyimpan foto dan menulis di tiap foto sedang dimana dan ngapain, biar sejarah diri tidak hilang oleh ingatan yang kelak akan memudar. Dulu saya serajin itu. |
Rumah Besar Dalam Kenangan
Pernahkah dalam doa sekali saja meminta agar Tuhan memberi kemampuan memiliki sebuah rumah yang besar?
Saya tidak tahu persis apa pernah berdoa meminta hal seperti itu. Jujur saya ragu apa pernah benar-benar menginginkan sebuah tempat tinggal yang luas, megah, bertingkat-tingkat, dan berlimpah barang mewah di dalamnya? Mungkinkah langit akan berguncang bila saya katakan tidak pernah? Hmm...
Saya hanya pernah tahu, ada pewajaran meminta hal-hal yang sifatnya material demi kebutuhan papan yang mapan, karenanya saya pernah mengutuki diri sendiri, "Munafik sekali kamu tidak ingin punya rumah besar!"
Namun, kutukan itu saya tarik lagi, bak penyihir yang menghentikan mantra jahatnya, karena ternyata hal yang dikutuki sungguh gak guna, malah menyerang diri sendiri dalam kesakitan dan penderitaan pikiran.
Berkelana dari rumah ke rumah Keluarga Besar
Terlahir tunggal dan yatim sejak usia 15 bulan (bapak saya meninggal karena sakit saat dirawat di sebuah RS di Palembang tahun 1980), saya pernah tinggal berpindah-pindah rumah dari keluarga yang satu ke keluarga yang lain.
Bukan karena ibu tidak sayang, lalu melepas saya kemana adik, kakak, om, tante, bapak/ibunya ibu mengajak saya tinggal, tapi karena Ibu ingin saya menjadi kuat dan mandiri. Ibu ingin saya melalui waktu demi waktu tanpa kesepian. Ibu ingin saya memiliki cerita hidup yang lebih berwarna dari banyak tempat dan orang-orang yang saya temui. Ibu ingin saya tidak menyesali keadaan, tapi bersyukur, bahwa saya bisa melanjutkan hidup dengan baik-baik saja walau tanpa bapak.
Maka, berkelanalah saya sejak kecil dari rumah ke rumah keluarga besar.
Rumah-Rumah Besar Keluarga Besar
Zaman nenek kakek dulu, mereka memiliki banyak anak. Rata-rata 8 sampai 10 anak. Mungkin itu salah satu alasan kenapa mereka membangun rumah besar berukuran luas. Bukan itu saja, bahkan mereka juga membangun rumah sesuai jumlah anak.
Saya sering kagum, betapa sejahtera orang zaman dulu, hidup mapan dan cukup meski punya banyak anak.
Bapak saya kebagian salah satu rumah milik kakek (sesuai wasiat yang diceritakan). Rumahnya berbentuk panggung, berbahan material full kayu yang telah berusia tua, tapi masih kokoh dan awet. Rumah besar yang bila kita teriak dari depan, nggak akan kedengaran oleh orang di dapur (letak dapur paling belakang) meski pakai toak, saking panjangnya. Bila ngepel manual dengan cara ngesot, perlu 2-3 hari dicicil baru selesai. Dapurnya saja seluas rumah yang saya tempati saat ini.
Jujur saya takut tinggal di rumah itu. Terlalu besar untuk segelintir penghuni. Warna kayunya kelam, sangat seram buat penakut seperti saya. Tapi, rumah itu penuh sejarah. Di sanalah bapak saya pernah ada, lahir, dibesarkan, dan dicintai keluarganya. Di sanalah saya menjadi pewaris yang berpuluh tahun kemudian abai pada rumah itu. Abai atau diabaikan, entah.
Rumah Besar Serba Ada di Kota Minyak
Semasa SD saya tinggal di rumah tante (adik ibu) di sebuah kota migas (minyak & gas) di Sumsel. Suami tante pegawai di perusahaan tambang milik pemerintah. Zaman itu Pak Soeharto sedang berkuasa, perusahaan itu pun berjaya. Pegawainya kala itu sungguh kaya dan dimanja. Mereka bergaji besar dan diberi tempat tinggal di lingkungan modern serba ada yang dibangun mewah.
Ada 2 bioskop yang film-filmnya bisa ditonton gratis kapan saja, namanya Bioskop P dan Bioskop A (alumni kota minyak tahun 80'an pasti tahu ini). Ada 2 kolam renang yang bisa digunakan gratis kapan saja. Ada sekolah gratis dengan gedung-gedung megah berfasilitas super lengkap. Namanya Sekolah YKPP, khusus anak pegawai perusahaan. Guru-gurunya didatangkan dari universitas-universitas ternama di Jawa. Pendidikan terbaik tersedia dari SD sampai SMA. Jangan tanya kegiatannya apa saja, lengkap! Dari pramuka, marching band, klub olahraga pelajar, sanggar tari, bahasa, dan lainnya. Asal siswanya pun beragam, dari Sabang sampai Bali. Yak, karena pegawai di sana juga berasal dari berbagai daerah.
Rumah tante besar. Semua fasilitas dalam rumah seperti gas untuk masak, air untuk keperluan apa saja, listrik, hingga sambungan telpon semuanya gratis. Anak-anaknya termasuk saya (yang diangkat anak, dimasukkan dalam daftar keluarga) bisa sekolah gratis. Layanan rumah sakit pun gratis. Gimana gak kaya coba pegawai zaman itu? Uang gaji cuma dipakai buat keperluan pribadi saja, yang lainnya gak perlu dibayar.
Saya tinggal dan menikmati semua kemewahan itu dengan tidak ada kurangnya.
Rumah Besar nan Mewah di Jakarta Selatan
Beberapa saudara kakek (dari bapak) sejak tahun 1950'an sudah banyak yang hijrah ke Jakarta. Mereka studi, bekerja, hingga berkeluarga dan menjadi warga DKI seutuhnya hingga cucu-cucunya. Saya kemudian pernah tinggal dengan salah duanya, tepatnya di Ciputat dan di Kalibata. Dulu Ciputat bagian dari Jaksel, bukan Tangsel seperti sekarang. Kala itu, jadi anak Jaksel ya biasa saja. Sekarang aja anak Jaksel disebut-sebut anak-anak yang wow.
Rumah kakek di Ciputat (beliau sudah almarhum) berhadapan dengan Asrama Putra IAIN. Pada masanya, kakek pernah memiliki jabatan tinggi di kepolisian. Rumahnya sangat besar, halamannya pun luas. Ada lapangan mini golf di bagian depan yang menyatu dengan taman. Ada area parkir yang bisa menampung 11 mobil. Ada kolam renang hampir berukuran olimpic. Ada kolam ikan seluas kolam renang. Rumahnya bertingkat dengan total 9 kamar tidur, 2 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 1 ruang nonton, 1 ruang makan, kamar pembantu, 2 dapur (kering dan basah). Di rumah inilah saya pernah tinggal.
Selama tinggal di rumah itu, saya akui saya bermewah-mewah. Pergaulan pun tak hanya luas, tapi juga high class, dan agak bebas. Di masa kini, jauh setelah kakek tiada, rumah itu banyak direnovasi untuk usaha kos. Total ada 20 kamar. Taman dan lapangan golf, separuhnya sudah disulap jadi food court.
Saya juga sempat merasakan tinggal di rumah kakek Daniel (beliau juga sudah almarhum) di Kalibata. Rumahnya tak kalah besar dan megah. Punya banyak sekali kamar yang kala itu disewakan (kos). Dulu kebanyakan penghuni kosnya karyawan kantor pajak. Kamar-kamar di bawah khusus pria, dan kamar di atas khusus wanita. Alm kakek juga punya villa di Batu Layang, Bogor. Villa mewah berbentuk rumah panggung dengan kolam renang dari sumber mata air pegunungan, ada kebun sayur, dan ada kolam ikan yang ikannya boleh ditangkap untuk dijadikan lauk makan kapan pun bila ingin. Saya beberapa kali ke sana, liburan sama keluarga.
Banyak tinggal di Ciputat, sesekali di Kalibata. Begitulah saya kala itu, di usia remaja.
Rumah Besar Mertua
Perjalanan waktu kembali mengantar saya pada pengalaman tinggal di rumah besar berikutnya, yakni di rumah suami.
Keluarga suami tinggal di Depok, di komplek TNI AD. Meski sebutannya komplek tentara tapi perumahan di sana bukan seperti perumahan dinas yang diberikan gratis untuk ditempati sementara, melainkan rumah pribadi yang dimiliki permanen (beli sendiri bangun sendiri).
Rumah itu dibangun bertahap oleh bapak dan ibu, sampai akhirnya besar dan bertingkat dengan total kamar tidur ada 6. Saya menjadi istri dari anak pertama dan laki-laki satunya di rumah itu. Otomatis saya menjadi bagian dari isi rumah itu. Meskipun kemudian saya dan suami akhirnya tidak tinggal di sana karena suami mengajak tinggal di rumah yang ia beli sendiri.
Hal-hal di belakang, seringkali melatari cara pandang di depan
Kembali ke pertanyaan di awal, "Pernahkah dalam doa sekali saja meminta agar Tuhan memberi kemampuan memiliki sebuah rumah yang besar?"
Lama hidup serba enak dari rumah besar yang satu ke rumah besar lainnya, kebanyakan membuat orang jadi menginginkan hal yang sama, ingin punya rumah besar yang bisa dimiliki sendiri. Tapi saya justru sebaliknya, keinginan itu telah samar, perlahan menghilang dengan sendirinya.
Inikah yang dinamakan mati rasa?
Padahal yang berpunya itu om, tante, dan kakek-kakek saya. Saya ini apalah, tak punya apa-apa. Cuma numpang mereka, kala itu. Cuma menumpang? Apa yang salah dengan menumpang?
Meski menumpang, saya telah puas, saya telah kenyang dengan apa yang membuat orang lain tergiur dan menginginkannya.
TELAH, sebuah kata yang secara psikologis membuat diri saya tak lagi bernafsu terhadap hal serupa. "Buat apa lagi, saya sudah coba dan rasakan semua itu." Secara jumawa, kira-kira seperti itu. Jumawa? Oh, cobalah lihat dari sudut pandang lain, bukan serta merta melabeli jumawa. Karena kisah tiap orang berbeda, maka beda pula cara pandang terhadap sesuatu.
Dalam kaitannya dengan pengalaman tinggal di rumah besar, kata telah memang pada akhirnya mengantar saya pada cara pandang berbeda tentang apa yang dimaksud rumah besar sesungguhnya.
Sebuah rumah yang dibeli oleh suami sejak awal menikah, ukurannya kecil saja, tetapi ada jutaan hal-hal besar di dalamnya yang tak pernah membuat saya berpindah-pindah lagi. Di situ saya menetap dan mengalami berbagai peristiwa dalam hidup.
Dari waktu ke waktu, seiring usia, setelah ditempa berbagai pelajaran hidup, ada hal yang kian hari kian saya sadari:
Hal-hal besar bisa dijumpai dari rumah kecil yang tenang dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang bersyukur, yang selalu dekat dengan Tuhan.