Bumi Palaton Permai, Rangkas Bitung. Foto Katerina. 12 Juni 2022 |
Hari Minggu pagi, 12 Juni 2022, Pukul 8.40 WIB. Saya tersentak membaca kalimat pendek tersebut berada di daftar komentar yang menunggu moderasi di blog saya travelerien.com ini.
Beberapa tanya seketika berseliweran dalam benak, "Apakah ini benar? Apakah bukan hoax? Apakah komen ini mengajak saya mengklik link berbahaya? Siapakah yang berkomentar tersebut?"
Beberapa detik saya membeku, hanya mata yang bergerak mengamati link URL yang disertakan dalam komen itu. Tak ada yang salah, itu adalah website yang biasa saya kunjungi bila hendak mendaftar berobat ke Pak Reza.
Sedetik kemudian saya membuka website rezapalaton.com. Koneksi internet terasa begitu kencang, seakan mendukung agar berita itu cepat terbaca oleh mata saya, lalu terpampang nyata berita duka tentang meninggalnya Pak Reza.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Berita duka itu membuat saya dan suami sama terkejut. Ada sedikit rasa tak percaya akan kebenarannya. Lalu, berita di web itu saya screenshot, saya kirim via WhatsApp ke Mas Indra, keponakan Pak Reza yang merupakan asisten beliau di klinik, untuk minta konfirmasi.
Mas Indra hanya menjawab pendek," Iya bu."
Ya Allah. Berita itu benar. Rasa sedih seketika menyergap, menyelimuti saya dengan rasa kehilangan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
"Ini baru disolatkan," tambah Mas Indra. Pukul 8.50 AM saat itu.
Tanpa menunggu info lebih lanjut, saya dan suami memutuskan segera pergi ke Rangkas Bitung saat itu juga, berharap bisa tiba sebelum jenazah dimakamkan. Namun harapan itu tak terwujud, perjalanan 1,5 jam dari BSD Serpong lebih dari cukup untuk proses pemakaman yang tak sempat kami saksikan.
Saya menghibur diri: "Tak apa, kami masih bisa bertemu dengan keluarga Pak Reza." Ya, itu pun akan menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi kami yang turut kehilangan Pak Reza.
Telah puluhan kali melintasi jalan keluar tol ini, dan yang terbanyak dalam ingatan adalah perjalanan menuju klinik Pak Reza |
Bila waktu telah berakhir, keluar dari gerbang tol ini tak lagi dalam rangka untuk menemui sosok Pak Reza.... 😭 |
"Nanti mama bisa bertanya pada keluarganya,"ucap suami.
Saya teringat beberapa hari sebelumnya, tepatnya tgl. 7 Juni 2022 pukul 9:58AM, Mas Indra ada menghubungi saya melalui panggilan Whatsapp. "Mbak, ada kenalan di RS Siloam gak?"
Saya kaget dengan telpon mendadak itu. Memang sih, ini bukan pertama kali Mas Indra menelpon saya, tapi biasanya komunikasi kami hanya perihal jadwal berobat dan tanaman obat, tapi kali ini menanyakan soal rumah sakit ke saya? Apa maksudnya?
Keheranan itu saya simpan dalam hati, sampai saat Pak Reza meninggal, baru saya sadar telpon itu ada hubungannya dengan Pak Reza. Hal itu dibenarkan oleh Mas Indra, saat kami bertemu di lokasi rumah duka, bahwa telpon nya saat itu memang ada kaitannya dengan pak Reza.
Deretan bunga dukacita di jalan menuju rumah Pak Reza |
Saya bukanlah keluarga Pak Reza. Saya tak ada hubungan darah dengan beliau. Tapi rasa kehilangan ini terasa mengaliri seluruh pembuluh darah, sebab bagi keluarga saya, beliau sudah seperti saudara, bagian dari keluarga yang padanya kami senantiasa ingin berterima kasih dan membalas jasa baiknya yang tanpa pamrih.
Saya hanyalah satu dari ribuan orang yang pernah merasakan jasa beliau dalam perjalanan kesehatan diri dan keluarga saya sejak tahun 2001. Bukan waktu yang sebentar untuk rentang waktu hingga tahun 2022. Sudah 21 tahun! Sejak saya masih gadis, menikah, punya anak, hingga usia saya terus menua seperti sekarang, saya dan keluarga mendatangi Pak Reza bila pengobatan kedokteran yang kami tempuh telah menemui titik buntu.
Alhamdulillah Allah menghendaki masalah kesehatan kami (saya, suami dan kedua anak saya) sembuh lewat Pak Reza sebagai perantara. Ada ikhtiar dari kami yang kuat berusaha agar lepas dari masalah kesehatan, ada Pak Reza yang ahli mengobati, dan sudah pasti ada Allah yang Maha Berkehendak atas semua yang terjadi.
Itulah sebabnya dalam blog dengan niche travel ini saya isi juga dengan story saya berobat di Pak Reza, sebagai sebuah pengalaman dan pelajaran berharga untuk hidup kami.
Blog ini memang bukan melulu tentang traveling yang berkaitan dengan wisata tapi apa pun yang saya temukan dan lakukan dalam perjalanan meniti usia, akan saya tuliskan di sini.
Di ruang tengah rumah duka, tampak anak perempuan tertua Pak Reza duduk bersandar di dinding dengan bersimbah air mata sembari terus berkata-kata tentang kepergian ayahnya. Ia dikelilingi para perempuan. Mungkin saudara, kerabat, dan rekan-rekannya. Situasi itu membuat saya menahan diri, tak mendekat, hanya duduk diam menunduk, mendengarkan saja, seperti yang lain. Seseorang yang sedang berduka, mencurahkan segala kesedihannya, hanya perlu didengarkan, ada waktu yang tepat untuk penghiburan. Itu yang saya pahami dan saya lakukan saat itu.
Istri Pak Reza sedang berada di kamar, istirahat. Pada saat beliau keluar, saya dan suami langsung menghampiri. Walau beliau mungkin tidak hafal siapa kami, sebab beliau jarang berada di klinik jika kami sedang berobat, tetapi wajib bagi kami menyampaikan belasungkawa padanya.
Insha Allah yang tidak terucap banyak dapat menguatkan Bu Reza yang tampak belum begitu stabil. Matanya basah, bibirnya masih bergetar saat berkata, kesedihan menggelayut berat di wajahnya, ketegaran itu sedang tiada.
Saya bersyukur bertemu Mbak Yanti, adik istri Pak Reza yang berkenan mengobrol dengan saya, dan menceritakan kondisi Pak Reza di hari-hari terakhir sebelum almarhum tiada. Obrolan sendu di tengah situasi duka itu membuat saya lega, meluruhkan segala tanya yang sebelumnya berkecamuk dalam dada.
Allah telah menjemput Pak Reza dengan cara yang indah menurutNYA.
Kantor travel KBIH dan umroh milik Pak Reza. Di sini juga ada ruang klinik tempat beliau praktek. |
Lapangan di tengah perumahan ini biasanya jadi tempat parkir tamu klinik dan travel. Sebuah tempat yang akan selalu saya kenang kala membawa suami dan anak untuk berobat |
Tamu yang melayat |
Selama 21 tahun menjadi pasien beliau, saya belajar tentang kesabaran, semangat pantang menyerah, rasa optimis, dan percaya bahwa Allah selalu melihat usaha seorang hamba yang bersungguh-sungguh dalam berikhtiar mencari kesembuhan.
Beberapa proses pengobatan yang pernah kami jalani, sudah saya tuliskan di blog ini, dapat dibaca pada link berikut:
- Traveling ke Rangkasbitung, Ikhtiar Mencari Kesembuhan Lewat Pengobatan Herbal
- Meramu Tanaman Obat Resep Herbal Reza Palaton Rangkasbitung
- Mengobati Batu Empedu yang Muncul Kembali dengan Tanaman Obat
Dalam tulisan-tulisan yang menitik beratkan pada pengalaman mengobati sakitnya suami itu, terselip kisah saya pernah punya kista berukuran 3cm yang sembuh tanpa operasi setelah menjalani pengobatan di Pak Reza. Saya juga pernah kena virus toksoplasma yang kemudian membahayakan Alief sejak masih dalam kandungan sampai kemudian lahir. Setelah terapi tanaman obat sekian waktu, virus itu lenyap dan kemudian saya bisa mengandung Aisyah tanpa ada setitikpun virus lagi.
Akibat toksoplasma yang saya idap itu, Alief lahir dengan kondisi cairan berlebih di kepala (bukan hydrocepalus) yang baru diketahui saat Alief berusia 7 bulan. Dokter ahli syaraf kepala di sebuah RS swasta di Karawaci sudah berkata, umur 3 tahun Alief harus operasi besar pasang selang di badan. Dalam keadaan lemas-selemasnya atas kondisi Alief itu, lalu saya pergi ikhtiar ke Pak Reza. Alhamdulillah setelah setahun rutin mengkonsumsi tanaman obat, Alief sembuh. Cairan di kepala sudah mengalir lancar dan yang tadinya berlebih kembali normal sesuai fungsinya. Alief tumbuh sehat, masya Allah cerdas dan tak kurang suatu apapun. Allah Maha Penyembuh.
Proses pengobatan Alief sampai sembuh adalah salah satu "mukjizat" terbesar yang pernah Allah berikan pada keluarga kami, selain sembuhnya suami dari batu empedu yang pernah memporak-porandakan ketenangan batin saya.
Perlu dicatat, saya dan keluarga tidak pernah mengabaikan / menolak pengobatan kedokteran. Selama ini kami justru selalu mendahulukan berobat di RS, jika mengalami titik buntu atau tidak adanya perkembangan ke arah positif, baru kami berobat ke Pak Reza. Setiap kali konsultasi ke Pak Reza, kami selalu membawa serta hasil tes dari RS seperti USG, CT SCan, MRI, dan tes darah.
Tidak ada hasil instan, saya dan suami, tentunya juga orang lain di luar sana, harus berjuang beberapa waktu untuk mencapai kesembuhan. Dulu waktu kena kista, saya menunggu hasilnya sebulan. Alief setahun. Suami 3 bulan. Proses mengkonsumsi tanaman obat itu memang tidak sebentar. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Lalu hasilnya mengikuti kemudian.
Pergi ke Rangkas Bitung saja perlu waktu, ada jarak yang jauh. Mencari tanaman obat yang diresepkan pun ke sana kemari, syukurnya sekarang sudah ada apoteknya. Kalau dulu saya mencari dari Bogor sampai Bekasi baru ketemu. Dulu jalan menuju rumah Pak Reza itu banyak jeleknya, udah jaraknya jauh, badan pun sakit pula karena pegal dan terbanting-banting di jalan berlubang. Sekarang luar biasa enak, sebab sudah ada tol baru menuju Rangkas Bitung, jalan mulus dan lebar, jarak jauh jadi terasa dekat.
Dulu datang berobat pagi, kelar diobati tengah malam karena ramai, sampai rumah udah subuh. Luar biasa perjuangan kala itu. Sejak ada website, pasien pakai nomor antri, jumlahnya pun dibatasi. Selain jadi mudah, kita pun dapat kepastian berobat. Dulu ruang praktek Pak Reza sempit, lalu beliau renovasi jadi bagusan ada ruang tunggu dan praktek yang terpisah, terakhir malah ada aula luas kayak digedung, ruangnya sejuk dan dilengkapi fasilitas memadai untuk yang sakit dan pendamping.
Itulah kenangan saya selama berobat ke Pak Reza.
Memiliki kenangan yang baik serta rasa terima kasih atas segala jasa adalah dua hal yang membuat rasa kehilangan itu ada.
Saya tidak sendiri merasakan hal ini, di luar sana tentu ada banyak orang yang merasakan hal serupa.
Mbak Septri, pasien Pak Reza. Saya tidak kenal Mbak Septri, kemudian kami ketemu di IG, sejak Mbak Septri membaca tulisan saya tentang pengobatan Rezapalaton di blog |
Mbak Selvi dan kakaknya juga pasien Pak Reza. Mbak Selvi jadi pasien Pak Reza sejak 2021, sedangkan kakaknya sejak 2006. Ini adalah sharing Mbak Selvi tentang pengalamannya berobat ke Pak Reza |
Pertemuan saat itu, terasa ada yang berbeda, dan mungkin menjadi tanda-tanda pamitnya beliau pada kami 😭
- Proses pemeriksaan berlangsung lebih lama dari biasanya. Saat beliau memegang lengan suami saya, menekan bagian tertentu di pergelangan tangan, terjadi hingga beberapa menit. Situasinya hening, sangat tenang, bahkan matanya terpejam. Saya sampai mengira beliau tertidur, padahal tidak, karena sedang kosentrasi membaca isi tubuh. Hanya jari-jarinya bergerak seperti mengukur sesuatu. Saya memperhatikan dengan seksama, dan kami yang tadinya sibuk bertanya macam-macam, memilih diam, membiarkan beliau memeriksa dengan tenang, hingga akhirnya keluar beberapa info dari yang ringan sampai berat seperti ukuran tensi, kadar kolesterol, hingga ukuran batu empedu yang diidap suami.
- Pesan untuk suami dan penjelasan tentang kondisi dalam tubuh suami, yang diuraikan dalam bahasa kedokteran, lebih detail dan panjang dari biasanya.
- Saat kelar dan kami hendak berpamitan, beliau menjabat tangan suami saya lebih erat dari biasanya, bahkan beliau sampai berdiri. Hal yang tak pernah dilakukannya selama ini kepada kami, mungkin juga pada pasien lainnya 😭
"Nanti nggak usah kontrol lagi ya mas, abis minum resep ini selama 21 hari, insha Allah sembuh batunya. Abis itu rutinkan minum sekali seminggu saja buat cegah supaya ga terjadi batu lagi."
"Seminggu ini benar-benar stop makan santan dan gorengan."
"Insha Allah sehat. Harus yakin bahwa pengobatan yang dijalani ini akan sembuh. Harus yakin ya, supaya otak bikin kita tersugesti tentang sehat saja. Kalau gak yakin, otak pun akan mengirim sinyal ga sehat."
"Sehat ya mas, ini badannya sekarang berisi, bagus." Saat mengatakan hal ini beliau menunjuk bahu suami saya, lalu membuat gerakan "kekar" (mengangkat tangan membentuk simbol kekar).
Lalu suami saya membalas: "Iya ya pak, malah bapak yang keliatan kurus."Kata-kata ini diucapkan dalam suasana bercanda. Saya pun setuju dengan apa yang diucapkan suami, Pak Reza memang terlihat lebih kurus dari biasanya.
Lalu Pak Reza dan suami saya sama-sama tertawa.
Indah sekali suasana kala itu. Pertemuan terasa lebih hangat. Kelakar nan jenaka, yang seperti biasa terselip di tiap ucapan saat memberikan pesan-pesan kesehatan, terasa begitu menyenangkan. Rasa gundah saya terhadap sakitnya suami pun seketika luruh, berganti semangat dan rasa optimis yang tinggi akan kesembuhan yang ingin dicapai.
Adik ipar saya dan suaminya juga pergi melayat ke Rangkas Bitung. Mereka juga memiliki pengalaman positif sejak berobat ke Pak Reza. Almarhum bapak mertua saya yang dulu mengalami masalah tulang ketika hendak berangkat haji, alhamdulillah ketika berangkat gak ada masalah lagi, bisa menjalankan semua kegiatan ibadah haji dengan lancar.
Menurut penuturan Mbak Yanti (adik istri Pak Reza), pagi hari jelang disolatkan dan dimakamkan, tamu yang hadir sangat banyak. Kendaraan yang parkir sampai ke luar komplek, bederet di jalan raya depan komplek.
Dari papan bunga duka cita yang berderet di jalan masuk menuju kediaman keluarga Pak Reza bisa dilihat bahwa Pak Reza bukan dikenal oleh pasien-pasien dan jamaah hajinya saja, tapi juga oleh perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang penting di suatu lembaga dan perusahaan.
Gambar ini saya screenshot dari video yang diambil saat pemberangkatan jenazah ke pemakaman |
Gambar ini juga saya screenshot dari video yang diambil dari lokasi pemakaman |