Quantcast
Channel: TᖇᗩᐯEᒪEᖇIEᑎ
Viewing all articles
Browse latest Browse all 778

Melawan Rasa Takut dengan Melakukan Apa yang Ditakutkan

$
0
0

Ada beberapa kebiasaan tidak normal yang terjadi pada saya sejak lama hingga saat ini dan belum bisa dihilangkan meski sudah melakukan berbagai upaya jitu yang terus menerus. Yakni kebiasaan yang berhubungan dengan rasa takut.  

Sebuah rasa yang membuat saya mengalami cemas berlebihan, dan berulangkali terjadi. Berlebihan, namun bukan menjadikan saya sakit dan menderita. Tidak pula membuat aktivitas sehari-hari jadi berantakan. Karena di balik rasa takut itu, ada "perlawanan" yang saya lakukan, sehingga tetap bisa menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Takut terhadap suatu hal yang pernah terjadi akan terulang lagi

Kecelakaan motor yang menimpa Alief pada tahun 2020 lalu membuatnya patah tangan dan luka-luka sehingga harus dioperasi dan pasang pen. Peristiwa itu menyisakan rasa takut berkepanjangan pada diri saya, hingga kini.

Alief dan motornya, sebelum terjadi kecelakaan

Bunyi Telpon

Saat kecelakaan terjadi, ada telpon masuk ke ponsel suami, dari seorang laki-laki yang bekerja sebagai security hunian elit di sebuah cluster di kota tempat saya tinggal yang mengabarkan bahwa Alief mengalami celaka di jalan raya, persis di depan gerbang cluster.

Saya shock. Tapi tetap berangkat menuju TKP. Sepanjang perjalanan saya gemetar, menangis, sambil membayangkan segala macam keadaan terburuk. Alhamdulillah Alief selamat, meski mengalami patah tulang dan luka-luka. Kisahnya sudah saya tulis lengkap di blog ini. 

Sejak kejadian itu hingga kini, bila ada telpon masuk ke ponsel saya atau ponsel suami, terutama saat Alief sedang tidak di rumah, saya merasa ketakutan luar biasa. Badan jadi gemetar, deg-degan, cemas, dan berpikiran yang tidak-tidak. 

Betul bahwa sebagai manusia dianjurkan untuk selalu berprasangka baik saja, bahkan di situasi terburuk, supaya yang terjadi adalah hal baik. Saya paham betul itu. Tapi khusus untuk kejadian celaka yang menimpa Alief, rasa takut pada bunyi ponsel masih sulit sekali dihilangkan. Kecuali bunyi telpon itu masuk saat Alief ada bersama saya, perasaan takut dan cemas berlebihan itu sama sekali tidak menghinggapi diri.

Melintasi Jalan Tempat Alief Celaka

Setiap kali saya, baik sendiri maupun bersama keluarga dan orang lain, berkendara melewati jalan tempat kejadian Alief celaka, jantung tiba-tiba berdegup kencang. Bahkan beberapa kali dada terasa sesak, dipenuhi rasa cemas. Lantas, saya meminta suami, driver taksi, atau siapapun yang saat itu menyetir mobil agar mengurangi kecepatan. Kelakuan ini berlebihan karena selalu terjadi. Selain itu, saya juga terus menerus menunjuk titik tempat Alief celaka, yang pada saat kejadian jalan itu berlubang-lubang parah, kini sudah rata mulus, tapi di mata saya seolah tetap berlubang dan membahayakan. Saya tidak berhenti cemas sampai jalan tersebut jauh tertinggal di belakang.

Takut terhadap suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya

Sampai saat ini saya tidak pernah tahu penyebab saya takut memasuki basement, lift, dan gua. Semua tempat itu bagi saya sempit, berbahaya, dan dapat membuat mati seketika. 

Padahal, urusan mati di tangan Allah SWT, saya percaya betul akan hal itu. Mau duduk manis manja di ruangan luas dan terang benderang, kalau kata Allah mati, ya mati saat itu juga. Kalau belum waktunya mati, meski terkurung di tempat sempit dan gelap, tetap akan hidup dalam keadaan sehat gak kurang suatu apapun.

Fobia ruang sempit atau Claustrophobia adalah gangguan psikologis di mana seseorang memiliki ketakutan berlebihan saat berada di ruangan yang kecil dan sempit, misalnya saat berada di lift, toilet umum, kereta bawah tanah, atau terowongan

Fobia gelap atau nyctophobia adalah gangguan psikologis di mana seseorang memiliki rasa takut yang berlebihan terhadap kegelapan. Orang yang memiliki gangguan ini bisa merasakan panik atau cemas ketika berada di tempat tak bercahaya di mana saja, bahkan di kamar tidurnya sendiri.


Apakah gangguan psikologis yang saya alami tersebut disebut trauma?

Saya berulang kali mengingat kejadian di masa lampau, mungkin pernah tidak sengaja terkurung di lemari pakaian, terkurung di kamar dalam keadaan lampu mati, terkurung di rumah gelap dan sepi, terkurung di hutan sunyi, dan lainnya. Namun, sekeras apapun saya berusaha mengingat, tetap saja tidak pernah ada kejadian seperti itu yang membuat saya jadi trauma.

Arti kata trauma menurut KBII:

[trau·ma] Kata Nomina (kata benda)

1) keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani;

2) luka berat;


Takut Lift

Bagaimana jika lift tiba-tiba berhenti karena suatu kerusakan atau listrik padam? Lalu saya terkurung di dalamnya. Entah terjebak saat di ketinggian gedung, atau di kedalaman basement. Lalu dinding liftnya bergerak saling merapat, menjepit dari depan belakang samping kiri kanan, gak bisa nafas, lalu mati. 

Bah!

Hal paling menyenangkan bukan dibeliin mobil baru hadiah ultah, tapi keluar dari lift dalam keadaan selamat!

Takut Basement

Bahaya! Nanti gedungnya runtuh! Orang yang berada di ruangan di bawah permukaan tanah jadi yang paling sengsara jika tertimpa. Pasti terjepit, gak bisa nafas, gak bisa keluar, terkubur dalam-dalam di tempat gelap dan sunyi yang tak berujung.

Duh!

Padahal, untuk runtuh itu perlu banyak faktor khusus dan besar. Ga sembarangan rubuh. Tinggal di kota besar dengan gedung-gedung yang memiliki tempat parkir di basement sering tak terhindarkan. 

Saat berada di Gua Pandan Desa Giri Mulyo, Lampung Timur

Takut Gua

Terakhir saya masuk Gua Pandan di Desa Girimulyo Lampung Timur. Tahun 2017. Sudah 5 tahun berlalu, tapi saya masih ingat gimana situasinya. Dalam, panjang dan gelap. Waktu itu pergi bareng Mbak Dian Radiata, Atanasia Riant, Yuk Annie, dan alm Ika. Takut? Banget! Sepanjang menembus kegelapan gua saya nangis diam-diam. Nangis ditahan. Soalnya malu, di situ banyak orang dari kelurahan dan dinas pariwisata. Rasanya, seperti pergi ke dunia lain yang ga ada ujungnya 😭

RASA TAKUT dan Hidup yang harus terus berlanjut

Saya selalu beranggapan bahwa merasa takut adalah hal yang manusiawi. 

Saya boleh jadi punya banyak keberanian dalam berbagai hal, tapi di luasnya ruang keberanian itu tetap ada sudut yang berisi ketakutan.

Apakah saya harus berhenti menggunakan ponsel agar tidak mendapat telpon masuk di saat Alief tak ada di rumah?

Apakah saya harus mencari jalan lebih jauh dan memutar agar tidak melintasi titik kejadian tempat Alief celaka?

Apakah saya harus menghindari pergi ke gedung-gedung tinggi agar tidak menggunakan lift? 

Apakah saya harus naik taksi saja agar terhindar dari parkir basement? 

Saya pernah lama berusaha menghindari hal-hal yang membuat saya takut, hingga akhirnya sadar bahwa rasa takut itu semakin dihindari semakin menjadi. Dihindari tidak juga pergi. Satu-satunya cara dihadapi. Gak mudah memang. Apalagi saya tidak menceritakannya secara terbuka kepada orang-orang, dalam rangka supaya orang mengerti keadaan diri saya. 

Saya pikir, ini masalah saya. Sayalah yang harus berusaha mengatasinya, bukan orang lain. 

Akhirnya, meskipun cemas, takut, was-was, panik, tegang, gemetar, dan sampe pingin menjerit setiap kali takut....

Saya tetap menggunakan ponsel. Menerima semua telpon masuk. Mendengarkan semua yang dikatakan oleh orang di seberang telpon. 

Saya tetap melintasi jalan tempat Alief pernah celaka. 

Saya tetap pergi ke gedung tinggi. Naik lift. Masuk basement.  Jalan-jalan menjelajah gua. 

Seberani apa saya?

Saat saya melakukan apa yang saya takutkan, bukan berarti saya sudah sembuh dari rasa takut. Saya hanya sedang menghadapinya. 

Ungkapan yang paling pas adalah:

Keberanian itu bukanlah tidak takut, tapi melakukan sesuatu meskipun takut. 

Puncak tertinggi dari rasa takut, adalah pada Sang Pencipta. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi hanya menghilangkan kesempatan untuk melakukan hal-hal baik.

Semoga Allah selalu melindungi.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 778

Trending Articles