Quantcast
Channel: TᖇᗩᐯEᒪEᖇIEᑎ
Viewing all articles
Browse latest Browse all 778

Diserang Gatal di Tengah Indahnya Pulau Padar

$
0
0

Ada dua hal yang saya khawatirkan ketika sedang pergi berwisata alam. Pertama, mendadak haid. Kedua, mendadak kegatalan (alergi). Lebih mengkhawatirkan lagi jika keduanya datang serentak. Deritanya bukan main.

Jadi, di antara serunya cerita perjalanan, dibalik foto-foto indah yang mengundang decak kagum, kadang ada perjuangan melawan sakit dan gatal yang tak terceritakan. Meskipun sifatnya sementara, tapi sukses membuat mood jadi berantakan. 

Dua hal tersebut pernah saya alami serentak ketika mengunjungi Pulau Padar di Taman Nasional Komodo, Flores NTT pada bulan Maret 2019 lalu. Apa rasanya kegatalan di tengah indahnya pesona Pulau Padar? 😁

Pulau Padar, Flores NTT (dari kameranya Rio Motret lho)😎

Turun Kapal Jam 5 pagi

Selama live on board 3 hari 2 malam di perairan Taman Nasional Komodo, saya (bersama 11 teman trip dari Jakarta) berlayar menggunakan kapal semi phinisi bernama KLM Lamborajo.

Meskipun telah berada di Labuan Bajo sejak tgl. 13-03-2021, tetapi sailing komodo baru dimulai tgl. 15-03-2019. Hari pertama mengunjungi Pulau Kenawa. Di sana berenang, snorkeling, diving (berburu penampakan manta/ikan pari raksasa), serta menghabiskan senja di gusung Makasar. Malamnya menginap di Pulau Padar. Bukan di daratan Pulau Padar, tapi di lautnya. Kapal mengapung di laut semalaman, berjarak kurang lebih 200 meter dari daratan. Apa rasanya tidur di dalam kapal? Oleng gaes ha-ha-ha, tapi seru.

Pukul 4 pagi (16-03-2019), Pak Deddy (tour guide) memanggil kami untuk bangun. Katanya, jam 5 harus turun. Yak, pagi itu jadwal menjejak Pulau Padar. Semua orang harus berangkat. Rugi kalau sampai enggak ikut eksplor Pulau Padar yang merupakan salah satu ikon wisata di Taman Nasional Komodo.

Dini hari yang tenang jadi riuh. Ada yang bergegas mandi, ada yang cuci muka dan gosok gigi saja, ada yang nggak cuci apapun tapi langsung dandan ha-ha-ha. Saya nggak mandi dong, cuma cuci muka dan ganti pakaian dalam (hari itu saya masih haid hari ke-3). Mandinya nanti saja setelah jelajah pulau.

Lalu, ngapain turun kapal pagi-pagi amat? Ya buat liat sunrise-lah buk! 

Sunrise di Pulau Padar terkenal indah gaes😍

Kapal semi phinisi yang saya tumpangi saat sailing komodo 2019

Dandan dan Barang Bawaan

"Nggak usah banyak bawaan, nanti berat di jalan. Kita mendaki lho...." ucap pak Deddy.

"Ok, pak. Kalau begitu saya titip kamera ya." 

Lalu DSLR seberat 1,8kg itu saya serahkan ke Pak Deddy yang menerima dengan senang hati. Ulala bisa banget deh ya ngerepotin tour guide . Tapi tenang, saya punya tip khusus buat beliau, gak gratis kok 😃

Berkat Pak Deddy, ransel jadi ringan. Isinya tinggal 1 botol air minum, 2 handphone, 2 powerbank, minyak kayu putih (buat jaga-jaga kalau mendadak ga enak perut atau digigit serangga), tolak angin (siapa tahu mendadak meriang ), dan 1 bungkus biskuit buat jaga-jaga bila mendadak lapar (kami baru dikasih sarapan setelah balik ke kapal).

Saya juga bawa mantel tebal dan panjang, biar hangat! Udara pagi itu dingin. Di tambah angin laut yang bertiup, bikin menggigil. Saya belum mau flu gara-gara itu. 1 jam pertama, mantel itu memang berguna, tapi setelahnya....(simak cerita selanjutnya pas mendaki bukit di pulau) 😂

Sebelum turun kapal, tak lupa dandan. Biarpun belum mandi, yang penting muka paripurna! Padahal nantinya semua itu luntur kena keringat haha. Di foto juga nggak bakal jadi perhatian, kalah cantik sama pemandangan!

Cahaya dari kapal-kapal wisata yang bermalam di perairan Pulau Padar

Penampakan kapal-kapal wisata (salah satunya kapal kami) dilihat dari bukit di Pulau Padar

Penampakan jetty di Pulau Padar

Melaju Kencang di Atas Sekoci

Ada 1 sekoci yang selalu dibawa kemanapun kapal berlayar. Sekoci itu diikat di buritan kapal. Hanya dipakai jika hendak mengangkut kami ke daratan. Dengan sekoci itulah kami menyeberang dari kapal ke Pulau Padar. Kapal-kapal memang tidak bisa merapat karena makin dekat ke pantai airnya makin surut. 

Alam raya masih gelap ketika kami mulai menaiki sekoci. Bintang gemintang masih bertaburan di angkasa. Cahaya lain yang terlihat hanya lampu dari kapal-kapal lain yang juga menginap di perairan Pulau Padar. Kami mengandalkan senter masing-masing untuk melihat keadaan terdekat. 

Sekoci melaju kencang, hembusan angin pun tak kalah kencang. Dingin? Pasti. Untunglah mantel tebal yang saya pakai, kaos yang membungkus kaki, kerudung yang menutup kepala dan leher, serta celoteh teman-teman dalam sekoci, ampuh menghalau serangan dingin yang datang tak diundang.

Sementara teman saya ada yang berpakaian minim. Kulitnya ditampar angin, rambutnya berkibar-kibar ngalahin bendera, dia santai wae.  Hebat kalilah anak muda. Dulu waktu masih zaman zahiliyah saya juga santai di tengah udara dingin, walau berpakaian minim. Sekarang udah emak-emak zaman tobatiyah, udah beda 😂

Kostumku di Pulau Padar dan make-up yang nggak keliatan 😆

Gatal Menyerang

Sekoci merapat di jetty, kami bergantian turun, lalu berjalan bersama beriringan. Saya berjalan dekat Pak Deddy. Selain karena kamera saya berada di tangannya, juga buat berjaga dari kemungkinan diserang komodo. Hohoho saya takut komodo gaes. Lhooo, emang ada komodo di Pulau Padar?? 

Pulau Padar memang tak berpenghuni. Manusia boleh berkunjung tapi tidak untuk tinggal. Menurut informasi, kemungkinan adanya komodo 1 : 1000. Bagaimana pun pulau ini berada di kawasan Taman Nasional Komodo, habitatnya Komodo. Jadi, meski tampak aman, tetap harus waspada. Itu kenapa saya tak mau menjauh dari Pak Deddy, biar bisa diandalkan jika ada apa-apa. Saya lagi haid lho, mudah jadi incaran komodo. Apalagi saat itu masih gelap, tak mudah melihat apa yang ada di sekitar. 

Selepas meniti jetty, kami menaiki tangga kayu yang langsung mengantar ke atas bukit. Pulau ini memang dipenuhi bukit, tak heran bila sampai di pantainya langsung disuguhi jalan menanjak. Bagusnya, tangga dan jalan sudah dibuat bagus, jadi bisa dilalui dengan mudah. 

Perjalanan yang terus menanjak, memutar, lalu menanjak lagi, membuat badan berkeringat. Udara yang tadinya dingin, perlahan mulai menghilang, berganti hangat dan akhirnya membuat gerah. Saat itu saya berada di barisan paling depan, persis di belakang Pak Deddy. Teman-teman di belakang. Sempat salah seorang bertanya:

"Mbak Rien gak kepanasan tuh pakai mantel? Saya yang pakai tank top saja gerah banget..."

Benar sekali, saya gerah! Tapi mantel tidak saya lepas. Saya khawatir akan alergi gatal yang biasanya timbul dari perpaduan keringat, angin, dan gerakan yang tidak berhenti (dalam hal ini jalan kaki menanjak).

Baru juga melintas dalam pikiran, eeeh beneran gatalnya muncul!

Alamaaak, khawatir diserang komodo, malah diserang gatal. 

Tangga kayu buat nanjak bukit. Perjalanan kami masih dikelilingi gelap. Pak Deddy di depan, memimpin rombongan

Penampakan tanjakan batu. Tanjakan bagus ini belum separuh perjalanan menanjak. Sisanya adalah jalan tanah biasa. Kecil dan terjal.

Bergelut dengan Gatal

Awalnya rasa gatal itu muncul di paha, lalu betis, pinggang, dan perut. Kedua tangan saya ingin sekali menggaruk bagian-bagian itu, tapi resikonya adalah semakin gatal. Terpaksa ditahan.

"Masih jauh nggak ya naiknya?" tanya saya ke orang-orang.

"Paling 20 menit lagi sampai," jawab seseorang, entah siapa. Saya lupa.

20 menit itu lama, berarti masih jauh. Apa yang harus saya lakukan? Berhenti bergerak adalah solusi mengurangi gatal. Lalu dengan mengelap bagian gatal pakai tisu basah, supaya keringatnya bisa dihilangkan. Tapi hal itu tidak memungkinkan.

  • Jika berhenti jalan, otomatis saya menghalangi orang-orang di bawah yang sedang bergegas naik mengejar matahari terbit dari ketinggian bukit. Lereng bukit itu beneran terjal, nggak bisa sembarang pindah jalan buat naik. Satu-satunya jalan hanya yang sedang kami lewati saat itu. 
  • Mengelap badan dengan tisu basah juga nggak mudah. Agak sulit untuk berdiri tegap di tanjakan. Lagipula tidak mungkin buka baju supaya bagian-bagian yang gatal bisa dilap. Masa iya telanjang depan orang-orang haha. Saya pakai celana panjang yang ditutup rok, juga pakai mantel. Kalaupun terpaksa dibuka, perlu durasi buat membuka semua itu. Lagian repot lah ngelap-ngelap di tanjakan. 
 
Berhenti gak bisa, ngelap badan pakai tisu basah juga gak bisa. Demi melancarkan orang-orang, saya memutuskan untuk terus nanjak sambil sesekali mengusap bagian yang gatal. Mengusap ya, bukan menggaruk. Saya terus nanjak, terus, terus, dan terus, sambil nangis (diam-diam). 

Fokus nanjak bikin saya tidak sadar telah terpisah jauh dari kawan-kawan yang berada di belakang. Entah pada berhenti di mana. Hanya saya dan Pak Deddy di atas, di tempat paling puncak.

Sadar perjalanan sudah bisa dihentikan, saya langsung duduk di atas rerumputan yang masih basah. Meluruskan kaki, menahan kedua tangan, dan kemudian memejamkan mata. Bukan mau tidur ya gaes haha, tapi menahan gatal. 

"Pak Deddy, saya mau istirahat sebentar."

Di tengah rasa gatal yang amat menggila itu, sejenak saya melupakan keinginan untuk melihat matahari terbit. Mood saya sudah berantakan.

Ternyata.....

Tak ada pemandangan matahari terbit, tapi saya sangat menikmati suasana pagi di sini.
 
Sampai puncak juga meski kegatalan haha

Awan Kelabu Menggantung di Langit Pagi

"Mbak Rien cepat amat jalannya, kami sampai ketinggalan," suara seseorang membuat saya membuka mata. Ternyata Alief dan beberapa yang lainnya. Sisanya masih di bawah, tidak lanjut sampai atas.

Saya gembira melihat kedatangan Alief. Jadi semangat lagi berburu pemandangan matahari terbit. Tapi sayang, alam semesta seperti tidak mendukung. Di hadirkannya awan kelabu. Penampakan sunrise tak sedikitpun muncul dalam pandangan. Bahkan, sempat turun gerimis kecil. Untunglah hanya sesaat.

Ada setitik kecewa, tapi kemudian langsung berganti syukur. Bagaimanapun, saya berhasil melewati kesakitan (gatal) dalam perjalanan ke puncak bukit. Toh pada akhirnya saya juga tetap bisa menyaksikan pemandangan indah di tempat ini, walau tanpa matahari terbit. 

Pak Deddy sangat baik. Beliau lah yang membantu perjalanan saya menanjaki bukit, termasuk menjadi fotografer selama saya di  Pulau Padar. Hal yang tak saya sangka ternyata Pak Deddy ini kenal dan bersahabat dengan Pak Andry Garu, pengusaha hotel terkenal di Labuan Bajo. Ketika saya bercerita bahwa saya adalah kenalan Pak Andry, tampak Pak Deddy hormat pada Pak Andry. 

Mood saya perlahan membaik, rasa gatal semakin berkurang. Seiring dengan itu awan kelabu perlahan menyingkir, berganti putih berlatar langit yang mulai terlihat biru. 

Dalam keadaan tenang, alergi itu memang pergi. Tetapi, hanya sementara.....

Awan kelabu pergi, pemandangan indah tersaji

Kain tenun NTT yang saya beli di Labuan Bajo jadi properti terbaik ketika berfoto di sini

Berada di antara rumput dan bunga-bunga liar ini malah nggak gatal 😁

Gatal Pergi Untuk Kembali

Saya hanyut dalam pesona Pulau Padar. 

Semua yang saya lihat, rasa, dan dengar di tempat ini, membuat saya merasa sangat bahagia. Pantai-pantai nan elok, deretan pulau dengan berbagai bentuk dan pola, lautan dengan airnya yang berwarna hijau kebiruan, rumput liar yang menyelimuti seluruh permukaan bukit, udara yang teramat bersih, debur ombak yang terdengar di kejauhan, pasir yang begitu lembut, dan sinar matahari yang memeluk dengan begitu hangat, semuanya membuat saya tertawan.

Padar menyenangkan hati, menenangkan jiwa. 

Rasanya, tak mau berhenti menekan tombol shutter kamera. Seolah semua harus saya abadikan agar apa yang saya lihat langsung saat itu bisa jadi foto untuk saya lihat lagi di kemudian hari. 

Selama mengambil foto dan difoto, rasa gatal itu sudah hilang. Namun tak disangka kembali datang saat dalam perjalanan pulang. Seluruh kegembiraan dan kebahagiaan kembali diambil alih oleh alergi. Dan saya mulai meringis lagi, diam-diam. Ya kali teriak-teriak, bisa-bisa gempar se-Padar 😂

Yang terpikirkan kemudian adalah secepatnya pulang ke kapal. MANDI! 
Pak Deddy, tour guide kami

Teman trip 1 rombongan 

Hal-Hal yang Membuat Gatal

Saya tahu apa pemicunya, tapi saya tidak tahu kapan gatal bakal datang, sebab dengan pemicu yang sama, tidak selalu menimbulkan gatal.

  • Jalan kaki
  • Lari
  • Naik sepeda
  • Naik motor
 
Kalau sekedar jalan, lari, naik sepeda, atau naik motor saja, belum tentu kegatalan. Biasanya ada faktor penyerta, seperti:

  • Keringatan
  • Kena sinar matahari
  • Kena angin
  • Jarak jalan kaki kejauhan (1 kilo pun buat saya sudah kejauhan)
  • Kondisi tertentu pada jalan yang dilalui saat bersepeda / bermotor. Misalnya berbatu atau berlubang. Getaran maupun lonjakan yang terjadi menyebabkan gatal
 
Hal-hal yang saya lakukan bila sudah mulai terasa gatal:

  • Berhenti jalan / lari
  • Berhenti sepedaan / motoran
  • Mengelap badan dengan tisu basah, khususnya bagian yang gatal dan paling banyak keringat
  • Segera mandi
 
Tidak terjadi gatal bila: 
  • Jalan pelan dan dekat
  • Naik motor di jalan mulus
  • Naik sepeda tidak terlalu lama
  • Tidak keringatan dan tidak kena hembusan angin
Bule-bule kepanasan dan keringatan bisa buka baju. Kalau emak-emak? Bisa-bisa gempar se-Padar😂


Sembuh !

Pukul 9 kami sudah di jetty, naik sekoci, kembali ke kapal. Selama dalam perjalanan naik sekoci saya masih merasakan gatal meskipun sudah tidak separah sewaktu masih di bukit. Keringat dan angin yang menerpa di antara kencangnya laju sekoci, membuat rasa gatal itu masih bertahan. Namun saya masih menahan untuk tidak garuk-garuk badan.

Sesampainya di kapal, saya minta ijin sama yang lain untuk duluan mandi. Di kapal hanya ada 2 kamar mandi, jadi kami harus bergantian. Setelah mandi, berganti pakaian, barulah saya merasa tenang kembali. Semua rasa gatal telah pergi bersama air yang mengalir membasahi tubuh. Alhamdulillah.

Perjalanan wisata masih panjang. Kapal akan terus berlayar. Kegiatan yang akan kembali membuat saya berjalan, kena angin, keringatan, masih akan terjadi. Tapi saya tidak berhenti. Tak ingin dikalahkan oleh alergi.
Nikmatnya makan di kapal bersama kawan, nikmatnya perjalanan


Jadi, bagaimana menurutmu kawan? 

Apakah setiap yang indah-indah dari cerita perjalanan adalah tanpa kesakitan atau pun ketakutan di baliknya?

Saya mengalami hal-hal tak enak dalam melakukan hobi. Tapi tidak menyerah.


-----------------------
Cerita sailing komodo ini juga bisa dibaca pada tulisan saya yang lainnya:


Viewing all articles
Browse latest Browse all 778

Trending Articles